Gerak-gerik Sorin sudah terlihat janggal dari sejak aku menanyakan di mana rumahnya. Padahal cuma bertanya, bukan mampir. Seolah di rumahnya ada sesuatu yang aku tak boleh tahu saja.
"Aku boleh mampir?"
Yah. Memang itu sih tujuanku bertanya. Mengubah destinasi menjadi menuju rumahnya meski kami masih berada di bis arah rumah Aldrin.
Sorin memperhatikan ke kiri dan kanan, tangannya mengusap-usap tengkuk. Kutemukan sedikit keringat di balik helaian poninya yang entah sudah eksis sedari tadi atau baru nampak beberapa saat lalu.
Aku menunggu jawabannya.
"Ya sudah." Kentara sekali sedang menyembunyikan kegelisahan. "Tapi seharusnya nggak usah naik bis. Cukup jalan kaki sepuluh menit aja dari lapangan basket tempat malam itu Zagi nyuruh aku ke sana."
"Oh...." Masih kuamati perubahan-perubahan ekspresi di wajahnya. Lalu aku meluruskan pandang ke jendela. "Nanti kalau bisnya berhenti, kita ikut turun."
Karena kami masih berada dalam wujud invisible boy and girl, tak seorang pun penumpang bis menyadari eksistensi dua pelajar SMP yang berdiri berhadapan di tengah-tengah lorong bis. Diam-diam aku menikmati raut tak acuh mereka.
Selepas aku dan Sorin berjalan bersisian di trotoar, gadis itu masih menunduk dan tak mau bicara seolah telah tertangkap basah. Itu menimbulkan perasaan buruk ke hatiku, tak mau sampai firasatku terbukti benar.
Nggak mungkin Sorin memajang ratusan fotoku di setiap inchi dinding kamarnya.
Faris terlalu percaya diri.
Kemudian, alih-alih berhenti di suatu komplek perumahan atau pemukiman penduduk di pinggiran kota, Sorin melangkah mendahuluiku memasuki lobi apartemen.
Aku terdiam sesaat. Feeling burukku semakin bertambah persen kemungkinannya.
Jika dia tinggal di apartemen sendirian, semakin masuk akal dia memajang—
"Kamu tinggal bareng saudara kan, Sorin?" Pertanyaan tak siapku pun ambigu. Maksudnya saudara apa? Adik, kakak, sepupu, paman bibi, keponakan, atau siapa?
"Berita bagus atau buruk jika Zagi tahu aku tinggal sendirian?" Tanpa kuduga di tengah giliranku yang menjadi resah, Sorin menjawab tenang dan kalem. Roman di wajahnya pun cenderung tak terbaca.
Gadis cantik itu telah mencapai lift. Aku segera menyusul sebelum pintunya menutup.
Pertanyaan itu mengambang di antara keheningan kami. Sorin menekan angka sembilan alias lantai tertinggi apartemen tersebut. Bisakah ada kabar baik sedikit saja untuk menghiburku?
"Tinggal sendiri?" Suaraku keluar berbarengan dengan bergeraknya lift menuju lantai-lantai atas.
Sorin tersenyum singkat. "Iya, sendiri. Jadi berita bagus atau buruk."
"Buruk."
Nol koma satu sekon, Sorin melongok cepat padaku. Rautnya tampak terluka.
"Bahaya cewek tinggal sendirian. Apalagi masih kecil."
Rautnya semakin terluka. "Aku sudah 15 tahun."
Dari sini benar-benar terlihatlah perbedaan usia kami yang ternyata memang beda satu tahun, dia lebih tua. Tahun ini aku sudah berulang tahun ke empat belas.
Setidaknya kenyataan itu membuat udara di sekitar kami melapang.
Di lantai lima, seorang pemuda yang mengenakan hoodie abu tua dan bersepatu olahraga masuk. Sebuah headphone mahal bertengger di lehernya. Kelihatannya hendak joging. Sore-sore begini?
