|7| still no progress

279 39 10
                                    

Bunyi dentingan sendok dan garpu di meja makan menggambarkan betapa seriusnya suasana sarapan pagi di keluarga Barata.

Sedari tadi pun tidak ada yang berani membuka mulut hanya untuk sekedar berbicara, mereka membuka mulut hanya untuk makan.

Si bungsu ketiga, Deanita. Jujur tidak suka dengan suasana seperti ini. Terasa dingin dan tanpa kehangatan.

Maka yang ia lakukan sekarang menunggu semuanya menghabiskan sarapan pagi ini. Setelahnya, ia akan mengembalikan suasana yang sudah seharusnya.

Merasa saudaranya membereskan alat makan masing-masing, ia dengan cepat mencegahnya.

"Bentar kak, aku mau ngomong sama kalian semua." Cegah Dea. Ia sedikit merasa gugup karena tatapan sinis dari Mira.

Sang kepala keluarga tersenyum tipis, dalam hati diam diam merasa bangga dengan bungsu ke tiga.

"Apa ayah juga perlu disini, nak ?" Tanya sang ayah Barata.

Dea menggeleng, "ayah sama bunda boleh tinggalkan kita ?" Pinta Dea. Karena, ia merasa butuh ruang untuk membicarakan ini.

Sang ayah dan bunda itu saling tatap lalu melemparkan senyum khas mereka berdua.

"Boleh. Dibicarakan baik-baik, direnungkan kembali apa yang menjadi titik masalah disini. Ayah yakin, anak gadis ayah semuanya bisa mengatasi." Ujar ayah Barata.

Sang ibunda ikut menyahuti. "Bunda disini meminta maaf kepada kalian tentang masalah yang beberapa hari ini terjadi. Fakta itu, benar adanya nak. Bunda ingin meluruskan ini kepada Shania, tetapi kalian harus bisa memperbaiki diri sendiri. Bunda bertanya-tanya dalam hati, kenapa anak-anakku tak saling menyapa ? Tidak saling bersenda gurau? Itu semua semakin membuat bunda sedih."

Kedelapan gadis itu terdiam mendengarkan perkataan sang ibunda.

"Ayo perbaiki semuanya, lalu kita kembali mengambil apa yang seharusnya kita miliki."

Perumpamaan itu membuat hati mereka tertusuk oleh banyaknya jarum, nyeri dan sakit sekali.

Mereka diam-diam membenarkan kata sang bunda. Satu permata hilang pada kotaknya, maka hilang juga keindahannya.

Dea melirik ibunda dan sang ayah telah beranjak dari kursi dan pergi dari ruang makan. Kini ia harus bisa menyelesaikan semuanya.

"Siapa dulu mau berbicara?" Tanya Dea.

Naya selaku sulung, ia lebih dulu mengutarakan kalimatnya.

"Pertama, gue disini mau minta maaf ke kalian-

"Kak Shania bukan kita." Sela Mira.

Naya berdehem lalu mengangguk, " iya gue tahu. Dan biarin gue minta maaf ke kalian dulu. Tentang tamparan itu gue refleks. Bukan ada maksud untuk tampar Shania. Bahkan setelah hari chaos itu gue dikasih hukuman sama ayah. Bukan ayah balik yang tampar gue, tapi gue dikasih buku tentang menjaga sikap, etika dengan hubungan saudara. Gue baca itu sehari penuh, dan harus memahami poin penting dalam buku itu. Gue juga minta maaf udah melanggar perjanjian kita yang ga akan main tangan sama saudara sendiri."

"Kita semua ga marah sama kak Naya kok. Cuma kita ga tahu caranya gimana bisa kembali seperti awal." Ujar Chelsea.

"Semuanya tiba-tiba dan sulit kita terima tentang fakta bahwa kak Shania bukan saudara kandung kita." Jiza juga ikut menyahuti.

"Kenapa? Lo ga mau anggep kak shania saudara kita lagi? Lo tuh kenapa sih kak?!" Balas Mira. Jiza terdiam kaku karena Mira sudah memanggilnya dengan sebutan kakak.

Seumur hidup Mira tidak pernah memanggilnya seperti itu karena mereka saudara kembar. Jika Mira sudah begini maka gadis itu benar-benar sudah diambang batas kemarahannya.

9 gadis tangguh " ayah"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang