13. Latihan

6 1 0
                                    

Kedua bilah pedang melesat dengan cepat ke arah Alice dan mengitari tubuhnya. Walau nampak terkejut dan ketakutan, gadis itu tetap diam dan mengamati pedang yang tebang mengitarinya.

Brakk!

Tiba-tiba saja pedang terjatuh, jatuhnya kedua pedang kayu membuat Akara terbangun.

"Ahh Alice, ada apa?" Akara bangun dan mendekati adiknya yang masih mematung.

"Kok pedangku di situ?" Ia lalu mengambil pedang kayu miliknya yang berada di bawah kaki adiknya.

"Maaf kak," ujar Alice yang terlihat sedikit takut.

"Tidak apa-apa," jawab Akara sambil tersenyum lebar, agar adiknya tidak merasa bersalah lagi.

"Itu kak, mama sudah menunggu di ruang makan,"

"Oh ayo!" Ia langsung meraih tangan adiknya dan bergegas menuju ruang makan.

Sesampainya di sana, ia langsung melepaskan tangan adiknya dan berlari ke arah ayahnya. Dengan cepat ia ayunkan pedangnya ke arah tengkuk ayahnya yang sedang duduk.

Tass!!

dalam sekejap mata, mama Violet sudah ada di sampingnya dan menangkis pedangnya menggunakan jari. Ia sangat terkejut, namun yang lainnya tetap melakukan aktivitas seakan tidak terjadi apa-apa.

"Tuan Akara, jangan bermain pedang di dalam rumah." Mama Violet secara halus dan perlahan mengambil kedua pedang anaknya, lalu mendorongnya menuju tempat duduk di samping ayahnya.

"Masih terlambat seribu tahun untuk bisa menyerang ayahmu, Akara," ujar ayahnya sambil menengok sekilas ke arah anaknya.

"Tidak peduli! Akan aku lampaui ayah dan menjadi master bela diri terkuat di dunia!" teriaknya, membuat ketiga mamanya tersenyum, sedangkan ayahnya tertawa.

"Hahaha, coba saja keluarkan aura ranahmu," ujar ayah Al yang wajahnya melihat ke depan, namun matanya mengintip ke arah anaknya.

Merasa tertantang, anak itu langsung mengeluarkan aura ranahnya. Energi seperti aliran air di udara terserap dengan cepat ke dalam tubuhnya, lalu muncul bintang keemasan di belakang pundaknya.

"Hanya satu bintang!?" Ia sontak panik dan juga kesal begitu menyadari ranahnya turun.

"Kemarin 3 bintang!" serunya lagi.

"Sudah-sudah." Mama Lia menghentikannya sambil membawa mangkuk berisi makanan.

"Makan dulu, nanti mama latih," lanjutnya sambil meletakkan mangkuk di atas meja makan.

"Terima kasih mama Lia, tapi ayah yang harus melatihku!" ujar Akara sambil menunjuk ke arah ayahnya.

"Akara, mama Lia kalau mengajar sangat bagus lho, banyak teknik-teknik yang sangat menakjubkan," ujar mama Rani sembari meletakkan piring berisi nasi ke depan anaknya.

"Benarkah!?" Ia dengan semangat bertanya, namun kemudian menunjuk ke arah ayahnya lagi.

"Tapi ayah yang harus melatihku terlebih dahulu!"

"Iya-iya, nanti ayah latih." Ayah Al meraih jari telunjuk anaknya dan melipatnya, lalu meluruskan jari kelingkingnya dan dikaitkan dengan jarinya untuk membuat janji.


Setelah selesai sarapan bersama, Akara bersama ayahnya keluar menuju halaman depan rumah. Begitu keluar, ia merasakan udara dingin nan sejuk dengan kabut tipis. Di depan rumah sudah ada halaman dengan latar batu, halaman berbentuk lingkaran dengan diameter belasan meter. Di pinggir halaman itu, ada rumah yang berjejer mengitarinya.

Terlihat juga beberapa warga yang berlalu lalang, mereka langsung menyapa sambil menundukkan kepalanya.

"Tuan Al,"

Penguasa Dewa Naga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang