19. Regera

3 1 0
                                    

"Akhhh!" teriaknya, lalu beberapa saat kemudian teriakannya tidak lagi bersuara, hingga akhirnya tubuhnya melemah. Matanya terpejam karena telah tidak sadarkan diri, lalu tubuhnya terjatuh.

Ayah Al dengan sigap menangkap tubuh anaknya, lalu menghilang begitu menangkapnya. Di ruang latihan tersisa Akara yang masih tercengang, kini panik dan melotot karena begitu marah.

Beberapa saat kemudian ayah Al muncul kembali, ia muncul sendirian tanpa Alice yang sebelumnya ia bawa.

Dengan suara gemetar dan geram, Akara bertanya kepada ayahnya.

"Apa-apaan tadi!?"

"Kenapa? Memangnya ada kekuatan yang bisa didapatkan begitu saja? Semua pasti ada konsekuensinya, ada sebab dan akibat. Jangan banyak bicara! Lakukan latihanmu!" Ayah Al dengan tatapan garang, menjawab pertanyaan anaknya yang masih mematung. Tatapannya tajam sekali, namun tidak membuat anaknya gentar sedikitpun.

"Kenapa ayah menyerangnya!?” Akara kembali bertanya dengan suara gemetar menahan amarahnya.

“Akara, cobalah!” Ayah Al menghiraukannya, malah menyuruh anaknya untuk segera mencobanya.

Akara mengangkat tangan kanannya yang sudah mengepal, lalu berposisi seperti ingin memukul. Beberapa saat kemudian ia memejamkan mata, lalu menghirup napas dalam-dalam.

"Huhhh." Ia menghela napas panjang sembari melemaskan tangannya, setelah itu mencoba apa yang ayahnya perintahkan. Tidak seperti tadi, ia sekarang bisa melakukannya. Kubah penghalang berwarna putih transparan terbentuk mengitadi tubuhnya.

Akara tidak senang maupun menyombongkan diri, namun menatap ayahnya dengan tatapan tajam.

"Hehh!" Ayah Al mengepalkan tangannya, lalu mengangkatnya hingga berposisi seperti ingin memukul. Sama persis seperti yang Akara lakukan tadi. Anaknya tidak bergeming sama sekali, hingga kemudian ayah Al melancarkan serangan.

Crangg!!

Penghalangnya pecah seperti kaca, lalu Akara meringis kesakitan hingga limbung. Walau begitu, ia masih bisa mengendalikan dirinya agar tidak kehilangan kesadarannya.

“Seluruh tubuhku terasa sangat sakit, sekaligus seperti ditekan oleh benda yang sangat berat,” ujar Akara sambil meringis menahan sakit.

"Apa itu yang Alice rasakan tadi!?" lanjutnya dengan geram, sambil menatap ayahnya dengan sorot mata yang tajam.

“Akara, lakukan lagi,” ujar ayah Al dengan nada kalem, mengabaikan keluhan dari anaknya.

“Ayah, tidak puaskah melihat kedua anakmu kesakitan!?” Akara masih terus menatap ayahnya dan mengabaikan perintahnya.

“Akara.” Ayah Al kembali memanggil anaknya saat perintahnya tidak dilakukan.

“Ayah! Alice juga merasakan sakit seperti ini!?” kini Akara berteriak, sambil menarik baju ayahnya.

"Huhh baiklah!" Akara melepaskan baju ayahnya, namun masih terlihat kekesalan di wajahnya. Setelah itu ia membuat kembali penghalang yang kedua kalinya.

"Hah!?" Akara sedikit terkejut setelah berhasil membuat penghalang untuk kedua kalinya. Setelah itu ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh penghalang di depannya, hingga telapak tangannya sepenuhnya menyentuh penghalang.

“Apa yang kau rasakan?” ujar ayahnya sambil tersenyum lebar.

“Penghalangnya lebih kuat dari yang sebelumnya?” Akara dengan ragu menoleh ke arah ayahnya, untuk bertanya kepadanya.

"Semuanya butuh usaha dan pengorbanan. Kamu bisa terus menaikkannya hingga menjadi pertahanan yang absolut, tapi usaha dan pengorbanannya juga jadi semakin besar," ujar ayah Al sembari mengusap kepala anaknya.

Penguasa Dewa Naga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang