15. Mata Ular

6 1 0
                                    

Saat malam hari, Akara berjalan melewati lorong rumah ditemani cahaya bulan dari dinding kaca.

"Akara?" Mama Serin yang tengah berjalan melihatnya, lalu langsung mengikutinya.

Akara menuju ke arah ruang makan, namun berhenti saat berada di depan kamar. Pintu dengan gantungan bunga-bunga, juga bertuliskan 'Alice'. Setelah melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada yang melihatnya, ia kemudian masuk ke dalam kamar adiknya.

Kamar bernuansa merah muda yang begitu feminim, lalu tempat tidur dengan kasur dan selimut berwarna putih bersih. Di sana, Alice tengah terlelap dalam tidurnya.

Dengan perlahan-lahan, ia mulai mendekati tempat tidur adiknya, lalu berdiri tepat di sampingnya. Disingkapnya selimut bagian atas hingga berada di perut adiknya, setelah itu kedua tangannya mengarah ke dada.

Mama Serin yang tadi mengikuti Akara, kini membuat sebuah portal pada dinding. Portal terbentuk hingga seolah-olah dindingnya berlubang, lalu ia perhatikan apa yang anaknya lakukan.

Aura ranah Akara muncul bersamaan dengan munculnya energi biru di tangannya, aura yang ternyata telah naik lagi menjadi 2 bintang energi. Alisnya mengkerut bersamaan dengan matanya yang menyipit, seolah-olah sedang mengeden. Anak kecil itu dalam posisi yang sama cukup lama hingga akhirnya energi biru di tangannya semakin banyak.

Energi dingin yang menyebabkan kabut putih, lalu kabut tadi turun hingga menyelimuti tubuh Alice. Tubuh adiknya menggigil, merasakan hawa dingin yang menerpa tubuhnya. Tidak lama kemudian, energi yang tadinya hanya menyelimuti tangannya, kini mulai turun bersama kabut putih.

Berbeda dengan kabut yang menyebar, energi ini langsung masuk ke dalam tubuh adiknya. Tidak lama kemudian, salah satu bintang pada auranya mulai pudar. Aura 2 bintang energi di belakang pundaknya berubah menjadi satu bintang saja. Menyadari hal itu, Akara malah tersenyum, namun langsung terbelalak kaget.

Cahaya berwarna merah dan biru tersorot dari matanya, tepatnya pada pupil matanya yang berubah warna. Pupil mata yang tadinya hitam, kini berubah menjadi warna biru dan merah. Tidak hanya warnanya saja, ada garis vertikal di tengah pupil seperti pada mata ular dan reptil sejenisnya.

Pandangan yang dilihat Akara kini berubah, ia dapat melihat hawa panas dan juga aliran energi di tubuhnya dan juga Alice. Walau sempat terkejut, namun ia malah langsung menengok ke arah mama Serin dengan cepat. Instingnya sangat cepat, namun mama Serin sudah tidak ada di sana.

Setelah itu ia melihat ke arah sekitar, ia dapat melihat tetangga yang tengah tertidur melalui hawa panasnya. Akan tetapi, saat melihat ke arah kamar orangtuanya, ia langsung merasakan sakit di matanya. Sambil menahan sakit, Akara bergegas keluar kamar Alice dan kembali ke kamarnya sendiri.


Esok harinya, Akara langsung bergegas menuju dapur, untuk bertanya akan kejadian tadi malam pada mama Lia. Di dapur ada mama Lia dan juga mama Violet yang terlihat tengah memasak.

"Mama, tadi malam tiba-tiba saja aku bisa melihat hawa panas, dan juga aliran energi pada tubuh manusia!" serunya dengan begitu bersemangat.

"Ohh, anakku sudah bisa menggunakan mata ular." Mama Lia langsung mengusap kepala anaknya sambil tersenyum gembira.

"Mata ular?"

"Iya, sama seperti ular yang mampu mendeteksi hawa panas. Insting dan reflekmu juga meningkatkan berkali-kali lipat lebih baik. Kalau ingin tau lebih lanjut, tanyakan saja sama mama Rani,"

"Benarkah!? Terima kasih mama Lia!" Akara langsung bergegas pergi, meninggalkan mama Lia yang sedang memasak. Ia berlari menaiki tangga yang ada di samping ruang makan, menuju lantai dua.

Di sana ada beberapa sofa, dengan latar pemandangan lembah dan hutan yang menakjubkan, dibatasi oleh dinding yang sepenuhnya berupa kaca.

"Mama!" serunya begitu sampai di lantai dua, di sana ada mama Serin, mama Rani dan juga Alice.

"Ada apa Akara?" Mama Rani langsung menengok ke arah anaknya, lalu anaknya itu menghampirinya.

"Tolong ajari Akara menggunakan mata ular!" serunya setelah duduk di samping mamanya.

"Ohh?" Mama Serin langsung tersenyum setelah mendengar ucapan Akara.

"Sudah bisa mengaktifkannya?" ujar mama Rani memastikan.

"Tadi malam, tidak sengaja mengaktifkannya, tapi tidak tau lagi cara mengaktifkan lagi," ujar Akara sambil melotot-melototkan matanya.

"Hahaha, tidak perlu pakai melotot juga!" seru mama Rani diikuti mama Serin yang tertawa kecil.

"Gunakan aura ranahmu, sama seperti saat memukul, atau menendang." Mama Rani malah memperagakan memukul, membuat anaknya mengkerutkan dahinya merasa bingung.

"Maksudnya?"

"Ya itu seperti menguatkan pukulan." Mama Rani kini peragakan pukulan, dengan tangan yang diselimuti energi merah.

"Ahh baiklah, terima kasih mama!" serunya dengan sedikit canggung, lalu bergegas turun, dan menemui mama Lia.

"Mama Lia," panggilnya dengan suara lesu.

"Hahaha, melihat wajahmu, pasti tidak paham dengan penjelasan mamamu." Mama Lia berhasil menebak dengan sempurna, lalu mencuci tangannya dan berjalan menuju meja makan.

"Diamkan saja Violet, tunggu sampai matang," ujar mama Lia saat mulai duduk di kursi makan.

"Baiklah." Mama Violet membasuh tangannya, lalu menyusul mama Lia.

"Jadi, apa yang dijelaskan mama Rani?" tanya mama Lia begitu anaknya duduk di sampingnya.

"Sama seperti menguatkan pukulan dan tendangan menggunakan aura ranah,"

"Ohh, mungkin maksudnya memfokuskan aliran energi menuju mata,"

"Memfokuskan aliran energi?" Akara lagi-lagi terlihat bingung.

"Coba kamu keluarkan aura ranahmu dan rasakan energi yang mengalir di seluruh tubuh,"

Akara langsung menuruti ucapan mama Lia, lalu muncul aura 1 binatang energi di belakang pundaknya. Setelah itu ia duduk bersila dan mulai bermeditasi. Baru beberapa saat ia memejamkan mata, aliran energi di udara sudah muncul, lalu mulai terserap ke dalam tubuhnya.

"Ohh begini!" serunya sambil membuka matanya, lalu membuka telapak tangannya dan dengan cepat terbentuk kristal es seukuran pensil.

"Perasaan yang sama seperti waktu itu!" serunya lagi dengan gembira.

"Ehh! Jangan asal digunakan!" Mama Lia langsung meraih tangan Akara, membuat kristal es tadi hancur. Kini anak itu mematikan aura ranahnya dan terlihat panik dengan reaksi mama Lia.

"Tubuhmu masih belum kuat, nanti aura ranahmu bisa hancur!" lanjut mama Lia menasehatinya.

"Baiklah, terima kasih mama Lia!" seru Akara dengan senyum lebar di bibirnya, lalu berusaha memusatkan energi pada matanya tanpa menggunakan aura ranah.

"Gunakan aura ranahmu dulu sampai terbiasa," ujar mama Lia saat melihat anaknya mencobanya berkali-kali, namun gagal.

"Hehe." Akara mengaktifkan aura ranahnya lagi, lalu kembali mencoba mengaktifkan mata ularnya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berhasil. Pupil matanya berubah warna menjadi campuran merah dan biru.

"Violet," ujar mama Lia sambil mengangkat kedua alisnya.

Mama Violet mengangguk, lalu dengan sangat cepat menghunuskan jarinya ke arah Akara. Ternyata ia berhasil menghindar, bahkan memegangi tangan mama Violet untuk menahannya dan melancarkan serangan balik.

"Keren!" seru ia sendiri yang dengan cepat berdiri.

"Lanjut latihan besok, panggil mama dan adikmu sana, masakan sudah matang." Mama Lia berdiri dan berjalan menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan itu. Senyuman di bibirnya menunjukkan rasa bahagia, sekaligus bangga kepada Akara.

"Baik!" seru Akara sambil bergegas naik lagi ke lantai dua.

Penguasa Dewa Naga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang