Sehari setelah kejadian mengesalkan di rumah Ahmad, Indira memutuskan untuk melupakannya dengan cara menyibukkan diri dengan pekerjaan di kampus. Karena itu, sejak pagi ia sudah duduk di ruangan dosen, meski jadwal mengajarnya hari ini baru ada di sesi siang.
Setelah pergi dari rumah Ahmad, dosen cantik itu langsung pulang ke rumah, dan menceritakan semuanya kepada kedua orang tuanya. Mereka pun tampak memahami masalah yang tengah dihadapi anak mereka, dan mendengarkan semua keluhan Indira dengan penuh perhatian.
“Apa yang kamu rasakan dan lakukan itu memang benar, Indira. Meski begitu ada baiknya kita lihat dari dua sisi. Ada baiknya kalau kamu dengarkan dulu apa yang ingin dikatakan Ahmad. Apabila setelah itu kamu tetap ingin memutuskan hubungan dengan dia, Ibu pasti akan mendukung. Tapi jangan lupa berpamitan dengan Ummi, agar tidak ada syak prasangka antara keluarga kita dan mereka,” ujar sang Ibu kepada Indira semalam.
Dalam hati, Indira mengagumi betapa bijaksana Ibu yang telah membesarkannya sejak kecil tersebut. Perempuan tersebut tetap mendukungnya sebagai anak, tetapi juga memberikan pandangan baru tentang cara terbaik dalam menyelesaikan masalah ini.
Meski begitu, Indira merasa ia masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Karena itu, ia terus saja menolak panggilan telepon dari Ahmad yang berulang kali masuk ke ponselnya. Saat nanti ia telah siap, ia berniat untuk langsung pergi ke rumah kekasihnya tersebut untuk menyelesaikan semuanya. Kekecewaan itu memang ada di hati Indira, tetapi hubungan yang sudah cukup lama ia bangun dengan Ahmad tentu tidak bisa juga ia putus begitu saja.
Beberapa jam kemudian, Indira tampak sudah bisa sedikit bersantai. Seluruh tugas mahasiswa telah selesai ia koreksi. Dosen cantik itu pun seperti bingung harus melakukan apa lagi untuk mengisi waktu.
Ia pun akhirnya teringat temannya sesama dosen, Yasmin. Siapa tahu sambil makan siang, ia bisa curhat tentang kejadian yang menimpanya, dan sahabatnya tersebut bisa memberi masukan tentang apa yang harus ia lakukan terhadap hubungannya dengan Ahmad. Indira pun langsung menelepon sahabatnya itu.
“Halo, beb. Lagi sibuk gak?” Sapa Indira.
“Nggak kok. Ada apa beb?” Jawab Yasmin, dengan suara yang terdengar begitu lemas.
“Kok suara lo kayak gitu, beb. Yakin nggak lagi kenapa-kenapa?”
“Iya, yakin kok. Gue baik-baik aja. Kenapa nih tiba-tiba nelpon?”
“Hmm, gue lagi gabut neh di kampus. Mau makan siang bareng nggak?”
“Duh, sorry banget beb. Gue lupa ngabarin ya. Sekarang gue lagi di Semarang, buat dateng seminar.”
Indira pun kaget mendengar jawaban sahabatnya itu. “Oh, dari kapan lo di sana?”
“Dari weekend kemarin. Sorry banget gue belum kasih tahu, habis mendadak banget sih acaranya.”
“Oh gitu, yaudah deh.”
“Sorry banget ya, beb.”
“Santai kok. Have fun ya di sana.”
“Thank you.”
Dalam hati Indira merasa ada yang janggal, karena tidak biasanya sang sahabat pergi ke luar kota tanpa mengabarkan terlebih dahulu kepada dirinya. Acara seminar pun biasanya membutuhkan waktu beberapa hari untuk konfirmasi kedatangan, serta pengurusan administrasi ke kampus terkait biaya transportasi dan akomodasi. Hampir tidak ada istilah seminar dadakan kalau untuk urusan kampus.
“Ah, bodo amat deh. Ngapain juga gue ngurusin orang lain, masalah gue sendiri aja udah bikin pusing,” pikir Indira.
Satu-satunya pilihan lain untuk dia ajak makan siang adalah Sofyan. Namun selama ini ia hampir tidak pernah pergi keluar berdua saja dengan dosen jurusan ekonomi tersebut. Mereka selalu melakukannya bertiga, Indira, Sofyan, dan Yasmin. Karena itu, ia khawatir Sofyan atau istrinya akan berpikir yang tidak-tidak apabila tiba-tiba Indira mengajak makan siang berdua.