Dengan langkah yang sedikit pincang, seorang perempuan tengah menuruni tangga rumahnya menuju ke lantai dasar. Ia menuju ke ruang makan, di mana Ayah dan Ibunya sudah menunggu di sana.
"Wah, tuan putri sudah bangun rupanya. Ayo sini duduk," panggil sang Ibu.
Perempuan tersebut pun tersenyum, dan perlahan mendekat ke arah kursi yang disiapkan untuknya. Meski sudah bisa berjalan kemana-mana, tetapi perempuan itu masih berusaha mengikuti perkataan dokter untuk tidak terburu-buru untuk beraktivitas seperti biasa.
"Ibu apaan sih? Berasa seperti anak manja saja aku kalau dipanggil begitu, hihihi." ujar perempuan tersebut.
"Hahaa ... Ibu hanya bercanda, Sayang. Ayo langsung dimakan sarapannya. Itu Ayah kamu sudah duluan."
"Hawbiws suwdawh lawpawr bawngewt siwh ..." tanggap sang Ayah sembari mengunyah nasi uduk yang disiapkan istrinya.
Perempuan tersebut hanya tertawa saja melihat kelakuan orang tuanya pagi ini. Setelah kecelakaan yang menimpa dirinya beberapa hari lalu, perempuan bernama Indira Nur Aisyah tersebut memang lebih sering di rumah untuk mempercepat pemulihan. Ia berencana untuk baru kembali mengajar di kampus minggu depan. Untungnya, ada rekannya sesama dosen yang berbaik hati menggantikannya mengajar selama ia tidak masuk.
"Jadi, bagaimana keputusan kamu soal Ahmad, Nak?" Tanya sang Ibu tiba-tiba. Pertanyaan yang langsung merusak mood Indira pagi ini.
"Ibu jangan bahas-bahas itu dulu, ah. Indira masih males ngomonginnya. Denger namanya aja males."
"Maaf, deh. Ibu cuma mau kamu tegas mengambil keputusan, agar masalah ini tidak berlarut-larut. Kalau mau lanjut ya silakan, kalau tidak ya silakan."
Dalam hati, Indira mengakui bahwa perkataan sang Ibu memang ada benarnya. Lebih cepat hubungannya dengan Ahmad menemui titik terang, semakin cepat pula ia terbebas dari belenggu yang seperti mengekang dirinya tersebut. Ketegasan seperti ini biasanya diharapkan muncul dari pihak pria. Namun apabila Ahmad tidak kunjung mengambil keputusan sebagaimana mayoritas pria lain, maka Indira-lah yang harus menentukan pilihan.
"Sampai sekarang apa kamu belum bisa menghubungi dia?" Tanya sang Ibu lagi.
Indira menggelengkan kepala. "Belum, Bu."
"Ya sudah. Sepertinya memang tidak ada itikad baik dari pihak mereka."
"Ibu juga belum bertemu Ummi lagi sejak kemarin Indira cerita?"
"Belum, Nak."
Entah apa yang terjadi sebenarnya dengan keluarga tersebut, sampai mereka kini seperti memutus hubungan dengan keluarganya. Namun Indira memilih untuk tidak memperdulikan itu, dan sibuk dengan masalahnya sendiri.
Perempuan tersebut pun mengingat percakapannya dengan Pak Agustinus beberapa hari lalu, saat ia masih berada di rumah sakit. Saat itu, mereka bicara tentang mimpi Indira, tipe pria yang ia suka, dan perbedaan besar yang ada antara mereka berdua, meski secara tersirat. Dan kata-kata Pak Agustinus tentang istilah dosa pun jadi begitu melekat di kepala Indira.
"In my opinion, sin is only a way of God to prevent us from giving harm to other people. But if it's two people, doing everything that they want without harming other people, I dare to do that sin. - Menurut pendapatku, dosa adalah cara Tuhan untuk mencegah manusia menyakiti sesama. Tapi jika hal itu terjadi antara dua orang yang melakukan apa yang mereka inginkan tanpa menyakiti atau merugikan orang lain, maka itu dosa yang akan aku lakukan."
Ucapan dan wajah Pak Agustinus terngiang-ngiang di benak Indira.
Indira pun jadi berpikir, apabila keinginan di dalam hatinya menjadi kenyataan, seharusnya tidak ada seorang pun yang tersakiti. Apakah hal tersebut merupakan dosa? Dan apakah benar bahwa ayah dari Andrew tersebut benar-benar mau melakukannya?