8+°

72 6 70
                                    

Selamat Membaca! 💕

.
.
.

- Bab VIII

: "Banyak hal yang mungkin terjadi di saat
kamu ngerasa mustahil, Nay."

▪︎

Memilih berteman sama Ruto tentu bukan keputusan yang buruk. Bahkan jauh dari kata buruk. Tapi, Naya masih sering merahasiakan beberapa hal dari cowok itu. Bukankah itu wajar? Karena menurutnya, hal semacam itu sangat dibutuhkan dalam sebuah pertemanan.

Sebuah batas. Batas yang selalu Naya berikan kalau berteman sama siapapun. Cewek itu memang sangat menyukai batasan karena menurutnya (lagi) akan sangat menyebalkan kalau berteman tapi malah tidak saling menghargai karena merasa bebas.

Rumit, ya? Naya memang akan selalu rumit kalau sudah menyangkut perihal perasaan. Baginya, hati itu bukan tempat main-main. Kalau dirasa gak cocok, ya, sudah. Naya malas mencari pembelaan sana sini, apalagi untuk hal yang belum tentu pantas untuk dibela.

Bukan soal pertemanan saja, lho, ya. Percintaan juga harus begitu kalau mengikuti prinsip hidup Naya Putri Senjani. Meski tidak ada yang tau pasti. Karena soal hati, kadang gak bisa kita atur sendiri.

Tapi sebenarnya ada satu lagi. Selain batas dalam pertemanan, soal Arjuna yang sudah banyak menyabet perasaannya selama lima tahun itupunㅡNaya belum sempat memberitahu Ruto. Ingin tapi belum sempat. Karena dari beberapa alasan tertentu, Naya sering merasa gak berhak.

Iya, seperti gak berhak saja melanjutkan sebuah cerita yang sudah jelas selesai, meski sebetulnya belum sempat dimulai.

Naya juga merasa kalau.. Ruto sudah tahu. Meski mulut itu lebih sering memilih tidak bicara karena (mungkin) merasa tidak perlu menyinggung hal tersebut, tapi Naya yakin Ruto sudah tahu banyak. Karena tatapan mata itu selalu nampak seperti menyimpan banyak sekali rahasia, yang seringkali membuat sanubarinya penasaran.

"Kelas siang kamu jam berapa, Nay?"

"Emm.. sekitar jam setengah dua. Makanya memilih ke sini karena kalau milih pulang, bisa-bisa aku gak masuk kelas."

Ruto tertawa singkat. "Kenapa gitu?"

"Ketiduran, hehe."

Ruto menggelengkan kepala. "Streaming kipop mulu. Jadi kurang tidur, 'kan? Dibejaan ge teu baleg sih kamu mah."

Kalau Ruto sudah mengeluarkan bahasa kramat alias bahasa Sunda begitu, Naya betulan angkat tangan, deh. Sumpah, menurutnya itu bahasa tersulit meski sebetulnya dia punya keturuan Sunda dari Papa. Tapi dari dulu, Naya sulit memahami dan gak pernah ngerti. Bahasa Sundanya itu nol besar, persis kayak otaknya.

"Yayaya, yang penting bisa menghibur diri."

"Misi Kak, ini jus buah naga dan alpukatnya."

Ah, Naya lupa kalau di sini juga ada kedai kecil yang menjual aneka jus buah. Dan tentu saja waktu mengetahui itu, dia lantas bersorak senang dalam hati; Asik, kedai jus, bukan kopi. Ha. Ha.

"Makasih, Kak." kata Naya sambil tersenyum.

Kedua insan itu mulai menyeruput minuman masing-masing bersama keheningan. Meski di dalam kepala, rasanya ada banyak hal yang ingin sekali mereka sampaikan tapi tertahan di kerongkongan. Dua pandangan mata yang sesekali bertemu itu, hanya menimbulkan tawa canggung yang menguar ke udara.

✓Dandelions | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang