9+°

75 6 83
                                    

Selamat Membaca! 💕

.
.
.

- Bab IX

: "Semua orang berhak memilih, 'kan?"

▪︎

"Naya? Kalo sakit minta surat izin aja, muka kamu pucet."

Di sana Naya malah menggeleng meski lemas. Suhu tubuhnya dari semalam gak stabil. Dia juga bingung kenapa. Padahal sehabis kelas siang dua hari lalu, cewek itu gak mampir kemana-mana lagi. Masa iya karena mengiyakan ajakan Mama makan mie pedas itu, sih? Ck, payah amat. Padahal dari dulu Naya paling kebal kalau soal sambel.

"Yakin? Aduh, jangan dulu mikirin dosen gila itu deh, Nay. Kesehatan kamu jauh lebih penting, lho." katanya dengan logat Jawa.

Itu Kinara Galih Pangestu. Biasa dipanggil Mbak; Kinar, Ina, atau Nara. Kedua orang tua Kinara asli Yogyakarta. Dan, oh! satu fakta yang harus kalian tahu, dia punya satu adik laki-laki. Baru masuk SMA, sih. Tapi adik laki-lakinya itu (kata Kinara sendiri) sangat dikenal di kalangan osis dan teman sekolah. Ya, memiliki turunan visual yang baik memang tidak akan bisa lepas dari itu, 'kan?

Naya memberi senyum. Merasa sedikit beruntung karena bertemu Kinara. Sebetulnya kalau diingat lagi, Kinara itu bukan tipe wanita bawel. Bahkan lebih pendiam dari Naya sewaktu gak sengaja satu kelompok untuk tugas kuliah pertama. Mungkin kalau dibandingkan dengan dia sewaktu SMA dulu, ya, begitulah kira-kira sosok Kinara.

Tapi di balik itu semua, jiwa ke-kakak-an Kinara sangat melekat. Baik, perhatian, dan selalu tau cara meng-adik-kan orang. Itupun karena kebetulan usia Kinara jauh di atas Naya. Selisih tujuh tahun. Ha. Naya sempat gak percaya aja waktu wanita kalem itu tersenyum maklum lalu berkata; "Kelihatan tua banget, ya? Saya juga nyesel sebenernya. Kenapa gak dari lulus SMA aja langsung ambil kuliah."

Kak, sori banget. Tapi Kakak malah kelihatan seumuran sama aku :(

Sumpah. Kinara itu definisi Kakak Tingkat baik hatiㅡkalau dia memang meluruskan niat untuk ambil kuliah setelah lulus SMA, sebelum tergoda dengan Bayu (kekasihnya sekarang) dan memilih bekerja part time bersama. Meski Naya tahu itu bukan hal buruk atau memalukan, Kinara tetap merasa menyesal karena telah melewatkan tahun demi tahun berlalu begitu saja tanpa bukti yang bisa dia bawa untuk orang tuanya, terutama sang Ayah.

Malangnya, Ayah Kinara meninggal empat tahun lalu. Ketika dia masih kukuh mempertahankan keputusannya untuk tidak lanjut kuliah dan memilih bekerja bersama sang kekasih, dengan alasan ingin membantu ekonomi keluarga. Rasa sesal, kecewa, marah, mungkin lebih Kinara rasakan untuk dirinya sendiri. Naya juga tahu perasaan semacam itu. Perasaan yang (mungkin) selalu menghantui Kinara Galih Pangestu di setiap momen hidupnya.

"Santai aja, Kak. Aku udah sering kayak gini, cuma masuk angin. Lagian tugas si dosen itu mah mana mau aku pikirin." Naya tertawa kaku. Masih merasa canggung karena diperhatikan sama Kak Kinara. Meski orang lain lebih sering memanggilnya dengan sebutan Mbak, Naya justru lebih suka memanggilnya dengan sebutan Kak.

Sorot matanya meneduh, senyuman itu begitu hangat. "Yaudah, tapi abis kelas selesai, langsung pulang, ya? Minum obat jangan lupa. Besok kita ada tugas diskusi buat projek Pak Geo."

"Tuh, malah Kakak yang ngingetin tugas dia." Naya tertawa lagi. Kali ini lebih lepas.

Kinara jadi ikut tertawa. "Iya juga, ya. Pokoknya istirahat yang baik ya, Nayaaa." sambil menepuk-nepuk kecil pucuk kepala Naya.

✓Dandelions | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang