7+°

59 6 52
                                    

Selamat Membaca! 💕

.
.
.

- Bab VII

: "Kamu gak boleh sakit sendirian."

▪︎

Hari sudah senin lagi. Tugas dosen, deadline yang sudah harus segera dikumpulkan, beberapa organisasi yang masih membutuhkan rapat-rapat penting, rasanya sudah berhasil membuat sendi-sendi di tubuh Naya auto kehilangan energi.

Cewek itu masih nyaman bergolek di atas kasur selama tiga puluh menit terakhir setelah nada dering alarm ponselnya berbunyi. Gak peduli, lah. Naya betulan malas kali ini. Tapi sialnya, rasa malas di dalam dirinya itu tetap saja kalah sama satu pertanyaan kramat yang tanpa permisi mendadak tersemat di kepala.

Memangnya mau jadi mahasiswi abadi?

Oh, sori-sori, deh. Untuk yang satu itu, dia jelas gak akan sudi.

Karena mau bagaimanapun, biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari masih merepotkan orang tua. Naya tentu gak akan semudah itu membiarkan satu hari bolos cuma karena malas. Yah, meski rasa malas itu juga (mungkin) bagian dari rasa lelah yang seringkali dia abaikan, tapi Naya juga bukan tipe cewek yang selalu menuruti keinginan tubuhnyaㅡlagi-lagi meski nampak jahat, tapi Naya tau waktu untuk istirahat, kokㅡbut anyways kalau soal perkuliahan, dia memang sebisa mungkin untuk gak menunda-nunda apapun.

Setelah dua puluh menit dipakai untuk membersihkan diri dan bersiap, Naya langsung mengemas beberapa barang ke dalam totebag cokelat. Hari ini dia ada kelas pagi sama siang, dan niat hati setelah selesai kelas pagi, Naya mau mampir ke salah satu store alat tulis yang gak jauh dari kampus. Ya, cuma mau lihat-lihat saja, sih. Karena katanya toko baru itu resmi dibuka hari ini.

"Ma?" teriak Naya.

Dari arah dapur, satu presensi wanita empat puluh tahun-an berlari kecil. "Kamu gak mau sarapan dulu?"

Naya menggeleng, "Gapapa, ya? Naya ada kelas tiga puluh menit lagi." ucapnya sambil melirik cemas jam di ponsel.

"Dibawa aja, ya? Mama siapin, sebentar."

Dengan setengah hati dan gak tega, Naya mengiyakan. Alhasil dia harus menunggu disiapkan bekal dulu. Dan selagi menunggu, cewek itu membuka ponselnya untuk memesan ojek online.

Tring

Tring

Ruto
| woi naya
| aku lagi di jakarta nih

Dahi Naya mengerut. Loh, ngapain dia di sini? Pun, dia cukup kaget kenapa Ruto tiba-tiba memberinya pesan begituㅡseolah Naya harus tau danㅡOke, itu berlebihan. Mau bagaimanapun, semesta sudah tahu kalau dia dan cowok itu sudah berteman cukup dekat. Sejak dua tahun setelah lulus. Ya, gak ada angin gak ada hujan, Naya mendadak akur saja sama satu makhluk bumi menyebalkan itu. Maklum, karena waktu di SMA dulu Naya betulan gak punya keinginan sedikitpun untuk berteman sama Ruto Pradikta Jaya. Di luar prediksi.

Alasan paling utama karena Naya sebal dijailin terus. Budak Bandung itu seperti gak kenal waktu untuk menggoda NayaㅡSi Paling Males Diajak Ngobrolㅡuntuk mendiskusikan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu, bahkan terkadang jauh sekali dari otak mediokernya. Contoh saja seperti; Nay? Kamu suka pegang batu gak kalo lagi mules? Coba, kira-kira apa korelasi batu sama nahan mules? Dulu aku dikasih tau sama Ibu aku katanya kalo pegang batu mulesnya ilang, dan bener, dong! Atau sepertiㅡlangit 'kan tinggi dan gak bertiang, ya? Tapi kok bisa gak runtuh, ya? Bukannya bumi kita punya gravitasi? Ha. Naya tau apa soal gituan? Boro-boro mendalami gravitasi bumi dan korelasi batu sama nahan mules, tiap kali ada mata pelajaran Ipa aja kerjaan dia cuma nahan ngantuk bukan fokus mendengarkan.

✓Dandelions | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang