Nanang langsung menghentikan Naka yang baru keluar dari kamar mandi, pria itu membentangkan tangan menjadi pagar hidup mencegah Naka melewatinya. Naka yang sudah lelah dengan tingkah Nanang juga tidak terlalu peduli, pria itu asyik mengeringkan rambut dengan handuk lalu mengibaskannya ke kanan dan kiri seperti sebuah iklan shampo.
Nanang dibuat merem melek karena kibasan rambut dan air dari rambut Naka, niatnya Nanang ingin mengomel tapi dia ingat ia punya misi lain yang lebih penting karenanya ia mengabaikan kelakuan Naka yang dadakan jadi duta shampo lain.
"Bang, ini mau nanya penting, nih."
"Kenapa, Dek Nanang?"
"Najis!" Nanang langsung mundur dengan dua tangan yang menyilang di depan dada.
Nanang menatap Naka dari ujung kaki hingga ujung kepala, memastikan yang dihadapannya ini adalah kuncen kosan Bu Endang bukan jelmaan hantu perawan yang lagi cari pasangan.
"Gue nggak minat sama lo, mending gue jomblo sambil nungguin si Ayu." Naka melangkah melewati Nanang yang masih memasang posisi siaga.
Nanang yang tersadar segera mengekori langkah Naka, ia juga memegang bagian belakang baju Naka persis bocah lima tahun yang takut hilang di keramaian. Naka tahu Nanang tidak akan melepaskannya sebelum tujuan pria itu tercapai dan itu berarti waktu istirahat untuk Naka bisa berkurang, ia pun melangkah ke ruang tamu agar bisa fokus mendengarkan permintaan Nanang yang semoga cukup waras kali ini.
"Bang, ngojek gini sehari bisa dapat 500 ribu nggak?"
"Bisa, 5 juta juga bisa," sahut Naka penuh semangat.
Nanang langsung melotot, memang benar semua masalah bisa diselesaikan dengan bantuan Naka. Kalau suatu saat Naka mengajukan diri jadi gubernur atau sekalian presiden, Nanang pasti akan memilih manusia tertua di kosan ini sebagai pilihan. Jangankan perang dunia, pemanasan global juga akan langsung selesai kalau Naka yang jadi presidennya.
"Gimana caranya, Bang?"
Naka tersenyum penuh arti, pria itu mencondongkan tubuh meminta Nanang untuk mendekat lalu mulai berbisik pelan.
"Ini tapi susah, Nang. Butuh pengorbanan jiwa dan raga, nyawa juga jadi taruhan," ujar Naka dengan nada yang menyakinkan.
Naka bahkan melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mendengar obrolan mereka. Nanang yang mengikuti setiap gerakan Naka, lalu ia pun mengangguk setelah memastikan kondisi cukup aman untuk Naka menjelaskan rencananya.
"Butuh banget, Bang. Namanya tiap kerjaan pasti harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan etos kerja yang tinggi." Nanang mengepalkan tangan kiri lalu menepuk-nepuk dada.
"Beneran lo mau?" Pertanyaan Naka dijawab Nanang dengan anggukan semangat.
"Resikonya gede, Nang. Lo siap tanggung?" Lagi-lagi Nanang mengangguk, kondisi kepepet begini Nanang siap melakukan segalanya demi mengisi dompet selama hal itu halal.
"Ini ngojek juga tapi fokusnya ke nganter barang." Naka menjelaskan rencananya sambil sesekali masih tengok kiri dan kanan.
"Barang apa, Bang?"
"Narkoba," jawab Naka lurus tanpa berkedip.
Nanang yang menahan napas dan sudah bersiap untuk mendengar rencana luar biasa versi Naka sampai lupa caranya bernapas.
"Hahahaha...." Naka bangkit lalu melangkah menuju kamar meninggalkan Nanang yang masih terpaku di tempat setelah mendengar tips jitu penghasilan lima juta sehari dari ngojek.
"Itu Mas Nanang kenapa?" Uci, warga kosan lantai dua yang baru pulang dari kampus terheran-heran begitu membuka pintu langsung menemukan pemandangan Nanang yang membeku.
"Lagi booting. Windows-nya udah jelek, maklum pentium satu," sahut Iqbal yang baru keluar kamar.
Hari sudah menjelang sore ketika Nanang mengintip pintu kamar Ilham yang tak kunjung terbuka, masih dalam misi mencari kerja Nanang memutuskan meminta bantuan dari Ilham yang bekerja di sebuah perusahaan perbankan. Nanang bisa saja mengetuk pintu kamar Ilham tapi ia takut menganggu waktu istirahat Ilham, kalau ada istilah kerja keras bagai kuda maka itu adalah definisi yang tepat untuk menggambarkan Ilham.
Menurut kesaksian Bu Endang, Ilham sudah tiga kali lebaran ini tidak mudik justru mengambil lemburan seperti orang yang dipaksa segera mengawini pacarnya. Jam kerja Ilham dan lemburan membuat ia harus berangkat pagi-pagi dan baru pulang menjelang dini hari, bahkan Nanang sempat curiga warga kosan satu ini sebenarnya bukan kerja di perbankan melainkan buka cabang pesugihan.
"Kenapa?"
Terlalu asyik melamun membuat Nanang tidak sadar bahwa Ilham sudah keluar dari kamar, pria itu menghampiri Nanang yang duduk tidak nyaman di kursi ruang tamu.
"Mau minta tolong, Mas." Nanang memberanikan diri memberikan jawaban.
"Kamu belum makan? Mau makan siang apa? Tanyain warga yang lain kali ada yang mau nitip." Ilham langsung mengeluarkan dompetnya dan menarik selembar uang berwarna biru.
Nanang melongo, mungkin ia terlalu sering minta makan pada Ilham sehingga pria itu langsung hapal dengan tingkahnya.
"Makasih, Mas." Nanang menerima uang tadi dengan semringah.
Pantang menolak rejeki apalagi itu dari Ilham, sugar daddy warga kosan Bu Endang.
"Tapi sebenarnya bukan mau minta duit, Mas. Itu di tempat Mas kira-kira ada kerjaan nggak ya? Magang gitu, Mas?"
"Skripsi gimana kabarnya? Kalau kerja nanti nggak fokus ngurus skripsi, butuh berapa banyak emang?"
Kan, Nanang yakin Ilham diam-diam punya pesugihan atau melihara tuyul. Buktinya pria itu begitu mudah memberikan uang padahal ia tahu bahwa kondisi Ilham juga tidak jauh berbeda dengannya. Semoga saja Ilham tidak bertemu teman yang suka memanfaatkan kebaikan pria itu, cukup warga kosan aja yang suka begitu ke Ilham.
"Belum bisa skripsi, Mas. Nilainya amblas hehehe... Niatnya mau cuti dulu, cari duit soalnya duit bapakku dikuasai istri barunya, adik di kampung juga belum bayaran sekolah," jawab Nanang dengan santai.
Ilham tahu ada kepedihan dalam suara Nanang, meski sering berkelakuan gila tapi Nanang juga punya masalahnya sendiri. Sebagai orang yang sama-sama berjuang untuk keluarga jelas Ilham tahu perasaan Nanang saat ini.
"Nanti Mas tanyain di kantor, ya. Nih, beli makan dulu. Pakai motor Mas aja tapi pulangnya mampir isi bensin." Ilham mengeluarkan lagi dua lembar uang berwarna merah dari dompet lalu mengambilkan kunci motor.
"Makasih ya, Mas. Maaf sering ngerepotin." Nanang langsung melesat meninggalkan Ilham yang masih terpaku di ruang tamu. Ilham mengucek mata memastikan yang barusan pergi adalah Nanang bukan adik-adiknya, ternyata Ilham sungguh-sungguh merindukan keluarganya.
***
Nanang bangun dengan antusias pagi ini, ia menerima misi penting untuk menyelamatkan negara dari kuncen kosan, tentu saja Nanang akan melaksanakan tugas ini dengan segenap jiwa raga. Sejak semalam ia sudah menyiapkan banyak cara untuk memastikan hari ini berjalan dengan meriah.
Selesai mengantarkan Uci menemui rombongan warga kosan, Nanang berbelok menuju fakultas pendidikan menemui salah satu kenalannya.
"Gue pinjem ya, Bang." Nanang memeriksa properti yang sengaja ia siapkan.
"Pokoknya kalau ada apa-apa gue nggak tanggung jawab, nanti gue laporan kehilangan properti," balas rekan Nanang sambil menerima sebungkus rokok yang Nanang serahkan.
Nanang mengambil ponselnya lalu menelepon Naka.
"Aman semua terkendali, pokoknya tugas ini aman sama Nanang." Nanang mematikan panggilan lalu tersenyum kegirangan.
Semoga Naka tidak menyesali keputusannya.
Jumlah kata 1066
14 Mei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)
General FictionKewajiban: 1. Skripsi (Tertunda, kejar nilai dulu uyeyeyeeee) (Butuh duit buat bayaran) 2. Bayar Kontrakan (Udah ijin telat sama Bu Endang uyeyeyeeee) 3. Biaya sekolah adik-adik (Butuh duit juga uyeyeyeeee) 4. Jodoh (Belum dicari uyeyeyeeee) 5. 6. ...