"Aku turun aja!" pekik Ranti untuk kesekian kalinya sambil memegangi pundak Nanang.
"Ini aman, Ran. Jangan goyang-goyang nanti tambah oleng."
"Aku nggak goyang emang jalannya aja yang jelek. Ini kapan turunnya, sih? Tanjakan mulu." Ranti merapatkan pegangannya pada pundak Nanang, setelah ini pasti akan ada memar-memar kemerahan bekas cakaran tangan Ranti.
"Jangan klakson terus! Lo nggak lihat ini jalannya sempit?" Ranti mengomeli motor yang berada di belakangnya.
Sementara Nanang tampak santai mengemudikan motor maticnya, tas carrier berukuran 30 liter berisi perbekalan Nanang selipkan di bagian depan motor. Meski banyak penjual di sekitar Gunung Munara tapi Nanang ingin memberikan pengalaman memasak di alam kepada Ranti, untungnya peralatan mendaki Nanang cukup lengkap jadi ia tidak perlu repot dan hanya pergi ke UKM untuk mengambil tenda yang dipinjam temannya beberapa waktu lalu.
"Dikit lagi nyampe kok, Ran." Nanang mencoba menenangkan Ranti yang terus menerus panik karena jalanan menuju pintu masuk yang menanjak dan berlubang di beberapa tempat.
Ranti duduk sambil sesekali mengomel sementara Nanang sesekali mencuri pandang lewat kaca spion, hal yang hanya bisa Nanang lakukan selama beberapa detik karena ia butuh fokus untuk mengendarai motor dan Ranti yang mengomel tapi terpesona dengan pemandangan sekitar terlihat begitu cantik.
Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di pintu masuk Gunung Munara, setelah memarkirkan motor Nanang menurunkan tasnya dan mengandeng Ranti menuju beberapa pria yang tampak berjaga. Nanang dengan cepat menyelesaikan pembayaran sambil sesekali bertukar sapa dengan beberapa pendaki lain, Ranti hanya sesekali melempar senyum karena ia tidak terbiasa semudah itu akrab dengan orang lain.
"Ada mushola kalau mau ke kamar mandi, ada warung kalau mau jajan dulu. Baru nanti kita naik ke sana." Nanang menujuk gunung yang di hadapan mereka.
"Itu yakin ada jalannya? Kayak ijo semua gitu?" Ranti menatap Nanang penuh keraguan.
Jelas saja ia ragu, ini kali pertama ia naik gunung dan ternyata jauh berbeda dari pengalaman yang ia dapat dari foto di internet.
"Tahu puncak Carstenz Gunung Jaya Wijaya?"
Ranti mengangguk, ia pernah mendengar nama gunung yang berada di Papua tersebut.
"Aku pernah naik ke sana," ujar Nanang sambil mengandeng Ranti menuju warung dan memesan jahe hangat untuk keduanya.
Nanang mengobrol dengan penjaga warung sementara Ranti meminta ijin untuk mengurus beberapa pekerjaan takut jika tidak mendapat koneksi internet nanti, diam-diam Ranti membuka internet dan mencari info tentang syarat mendaki Gunung Jaya Wijaya, sekalian akun sosial media Nanang.
"Kamu kenapa?" Tanya Nanang yang heran karena Ranti menatapnya berkali-kali.
Ranti menggeleng dan tertawa canggung, dalam hatinya menolak percaya bahwa Nanang yang lebih mirip badut berjalan ini begitu keren saat bergantungan dengan tali webbing. Ranti juga baru tahu dibalik jaket yang biasa Nanang kenakan tersembunyi otot yang keliatan begitu keras.
Plakk!
Ranti menampar pipinya sendiri dan Nanang langsung mendekat.
"Kamu digigit nyamuk?"
Ranti mengangguk lalu patuh menerima obat nyamuk oles yang Nanang berikan, jangan sampai Nanang tahu kalau Ranti baru saja membayangkan sesuatu yang gila dengan otot-otot Nanang.
Pendakian dimulai sekitar jam tujuh malam, Nanang memasangkan helm yang dilengkapi dengan head lamp dan memastikan Ranti bisa melihat jalanan dengan baik. Nanang berjalan lebih dulu sementara Ranti mengikuti karena jalanan yang ada terlalu sempit jika mereka berjalan bersisian.
Ranti menatap gunung yang gelap dan hanya terdapat beberapa titik cahaya, ia berkali-kali menghela napas karena antusias tapi juga khawatir karena ini pengalaman pertamanya naik gunung. Nanang menyerahkan tongkat gunung karena jalanan yang didominasi tanah merah tampak licin, Ranti beberapa kali meminta berhenti hanya untuk minum atau menghela napas dan Nanang tentu mematuhinya.
"Kok kamu nggak keliatan capek?" Ranti bertanya sambil duduk di salah satu batu.
"Capek kok." Nanang mengelap dahinya yang sedikit berkeringat.
Ranti mendecih karena justru merasa diledek oleh Nanang.
"Ini masih jauh?" Ranti mengipasi lehernya dengan tangan.
Padahal cuaca cukup dingin tapi ia justru kegerahan dan tubuhnya basah oleh keringat, untung ia mematuhi saran Nanang untuk mengenakan pakaian yang menyerap keringat.
"Dikit lagi kok. Cuma nanti jalannya agak curam sama licin tapi ada talinya buat pengangan." Nanang dengan sabar menjelaskan setiap pertanyaan Ranti.
Lima menit kemudian keduanya melanjutkan perjalanan, meski sudah berbekal tongkat gunung dan sepatu gunung yang memiliki banyak gerigi di bagian bawahnya tetap saja sesekali Ranti hampir tergelincir.
"Kita istirahat dulu," ujar Nanang sambil mencari tempat untuk Ranti duduk.
"Gila! Aku nggak pernah berkeringat sebanyak ini." Ranti tertawa sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
Nanang memalingkan muka karena Ranti terlihat berkali-kali lipat lebih cantik. Jantungnya berdegup kencang lebih keras dibanding saat mendaki tadi.
"Masih sanggup lanjut?" Nanang berjongkok dan memeriksa kaki Ranti memeriksa tidak ada luka.
"Udah setengah jalan. Gabut banget malah pulang," keluh Ranti sambil melepaskan tas punggungnya dan sesekali memijat pundaknya.
Nanang mengambil tas Ranti yang tergeletak di tanah lalu menggendongnya di depan, tentu saja hal itu membuat Ranti panik.
"Kamu udah bawa tas gede. Aku bisa bawa tas sendiri." Ranti mencoba merebut tasnya.
Nanang tersenyum lalu merapikan anak rambut Ranti yang berantakan. "Aku tahu kamu bisa bawa sendiri tapi jalan setelah ini nanjak banget, aku khawatir kamu jatuh lagi apalagi sampe cedera. Nanti kalau jalannya udah datar aku balikin."
"Yaudah ayo jalan!" Ranti langsung berdiri dan berjalan lebih dulu sambil mengigit bagian dalam pipinya menahan diri agar tidak tersenyum.
"Jalannya ke arah sini, tuh talinya di sini." Nanang mengoreksi dan Ranti langsung berbalik sambil melotot galak.
Nanang tidak berbohong saat mengatakan jalanan selanjutnya begitu terjal, medannya yang terdiri dari tanah liat membuat Ranti sedikit takut tergelincir. Nanang juga bingung karena ia bisa naik lebih dulu dan memastikan rute yang aman tapi takut saat Ranti tergelincir nanti tidak ada orang yang menjaga dari bawah.
"Mas Nanang?"
"Oi." Nanang menyahut saat namanya dipanggil. Dua orang muncul dan bertukar tos dengan Nanang.
"Widih, bawa cewek" kata laki-laki yang ternyata salah satu kenalan Nanang.
"Jangan rese dah, buruan naik bukain jalan." Nanang mendorong temannya itu menjauh dari Ranti yang menunduk karena malu.
"Mereka juniorku di kampus. Nggak keberatan kita naik bareng?" Nanang meminta pendapat Ranti dan gadis itu mengangguk.
Sementara dua junior Nanang tampak terbatuk-batuk sambil mendaki tebing yang ada, Nanang menatap keduanya lalu mengacungkan tinju memastikan mereka akan mendapatkan balasan saat di UKM nanti.
"Mas, udah nyampe atas nih. Buruan jangan kelamaan mojok, inget di gunung nggak boleh mesum," teriak junior Nanang yang sudah berada di puncak tebing.
Nanang membantu Ranti bangkit sambil memasang wajah tidak peduli padahal dalam hati dia memakai dua juniornya itu.
"Hati-hati, Mbak. Dijagain Kakanda Nanang dari bawah."
Nanang menghela napas lalu berbisik pada Ranti. "Mereka nggak waras."
Jumlah kata 1059
19 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)
Aktuelle LiteraturKewajiban: 1. Skripsi (Tertunda, kejar nilai dulu uyeyeyeeee) (Butuh duit buat bayaran) 2. Bayar Kontrakan (Udah ijin telat sama Bu Endang uyeyeyeeee) 3. Biaya sekolah adik-adik (Butuh duit juga uyeyeyeeee) 4. Jodoh (Belum dicari uyeyeyeeee) 5. 6. ...