1. Akhirnya Wisuda

81 15 73
                                    

Ruang auditorium universitas Catra hari ini ramai dipadati mahasiswa FISIP yang hari ini akan melaksanakan wisuda, barisan panjang wisudawan tampak mengekor di samping panggung menunggu namanya untuk dipanggil oleh rektor.

"Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, prodi ilmu komunikasi, Djoko Lanang Narapati lulus cumlaude dengan IPK 3,8."

Lanang menghembuskan napas sebelum berjalan menaiki panggung, ia membalas senyum lebar yang diberikan dosen pembimbing skripsinya lalu menyalami pria paruh baya tersebut. Setelah tali toganya dipindahkan, Lanang digiring menuju meja podium untuk memberikan sambutan.

"Alhamdulillah, terima kasih saya panjatkan....."

"Rungkad entek-entekan... Kelangan kowe sing paling tak...."

"I want you... I need you."

Lanang mengembus napas, matanya masih tertutup tapi ia dengan mudah menemukan ponsel untuk mematikan alarm. Satu bunyi-bunyian sudah berakhir, kini tinggal membuat Nabila dkk diam karena ini masih terlalu pagi untuk karaoke.

"Iqbal, tolong kecilin musiknya. Mas Nanang baru tidur subuh tadi," ujar Lanang atau yang biasa disapa Nanang sambil mengetok pintu kamar Iqbal.

Padahal kamar keduanya terhalang tiga kamar penghuni indekos lain, sayangnya itu tidak cukup untuk mencegah suara Nabila dkk menganggu mimpi indah Nanang. Hampir lima menit berlalu tidak ada sahutan dari dalam kamar, Nanang meraih ponselnya dan mencoba menelepon Iqbal.

Nanang menghela napas karena nada dering Iqbal ternyata sama berisiknya dengan lagu tadi, bedanya ini versi bahasa jepang kalau yang tadi versi bahasa indonesia. Satu putaran lagu sudah selesai tapi Iqbal tidak juga keluar dari kamar, Nanang pun merasa cemas takut remaja itu sakit atau tidak sadarkan diri.

Nanang memutar-mutar pintu Iqbal yang terkunci, ponselnya kini ia selipkan di telinga dan pundak sementara ia mulai mendobrak pelan pintu kamar Iqbal.

"Bang Naka! Iqbal kayaknya mati," seru Nanang begitu melihat Naka, warga kosan yang paling senior.

"Hah?"

"Bantu dobrak, Bang. Udah nanti dijelasin sekarang kita tolongin Iqbal dulu." Nanang menyimpan ponselnya di kantong celana dan mulai ancang-ancang mendobrak pintu Iqbal.

Naka yang nyawanya masih setengah karena semalaman begadang kejar poin orderan langsung meletakkan helm-nya dan ikut berdiri di depan pintu kamar Iqbal, keduanya memanggil-manggil nama Iqbal sambil mencoba mendobrak pintu.

"Satu." Nanang mulai menghitung.

"Dua." Naka mengangguk.

"Tii...."

Pintu kamar terbuka disusul bunyi berdebum Nanang yang jatuh tertimpa Naka.

"Ngapain, Mas? Bang Naka?"

"Gue kira lo mati, ditelepon dari tadi nggak angkat," sahut Nanang sambil mendorong Naka yang menindih badannya.

"Aku lagi streaming, Mas. Musiknya kekencangan, ya? Maaf, Mas." Iqbal menggaruk belakang kepalanya lalu segera mengecilkan volume lagu dari ponselnya.

"Kuliah doang ilmu komunikasi tapi cara komunikasinya payah," gerutu Naka sambil keluar kamar setelah memastikan Iqbal baik-baik saja.

"Ketimbang abang kuliah doang, lulus kagak."

Untungnya Nanang segera kabur ke dalam kamar, kalau tidak kepalanya bisa gepeng terkena lemparan helm.

Nanang segera mengunci pintu kamarnya, mengabaikan Naka yang ngomel-ngomel di depan pintu. Nanang beberapa kali meneriakkan permintaan maaf berharap hal itu bisa menghentikan Naka dari niatnya untuk ganti mendobrak pintu kamar Nanang.

Setelah suasana tenang Nanang beranjak menuju ranjang, ia bersandar di kepala ranjang sambil membuka aplikasi perpesanan di ponselnya. Pesan teratas diisi oleh kontak yang Nanang simpan dengan nama 'Ibu' dan 'Dedek'.

Nanang membuka pesan ibu terlebih dahulu, ia memejamkan mata berharap kabar yang dikirimkan ibu kali ini cukup aman ia baca di pagi hari.

Mas, gimana kabar skripsinya? Kemarin ibu telepon ke rumah, katanya mas lagi penelitian skripsi jadi nggak pulang. Liburan ini pulang, Mas? Bawain Ibu calon menantu ya.

Nanang tersenyum kecut, bukan pertanyaan ini yang ingin ia dengar tapi ia juga tidak bisa menyalahkan ibu yang tidak tahu. Sudah lebih dari dua tahun Nanang keluar dari rumah sang ayah karena bersiteru dengan saudara tirinya, Nanang merahasiakan hal itu karena tidak ingin membuat ibunya kepikiran.

Masih proses, Bu. Ibu gimana kabarnya? Sehat-sehat?

Nanang mengetikan balasan lalu berganti membuka pesan dari adiknya, lagi-lagi Nanang dibuat tersenyum kecut melihat pesan tersebut.

Mas, kok ayah udah tiga bulan nggak kirim uang ya? Aku belum bayaran sekolah, Mas. Ibu dagangnya lagi sepi aku nggak enak mau minta.

Nanti Mas tanyakan ya, Dek. Ayah lagi repot juga soalnya pulang malam terus jadi Mas jarang ketemu.

Nanang menutup ponsel lalu meletakkannya begitu saja di atas kasur, menatap langit-langit kamar sambil merapikan isi otak. Pertama tentang skripsi, Nanang belum bisa mengkontrak SKS untuk skripsi karena ia masih harus mengulang beberapa mata kuliah, salahnya saat semester awal terlalu sibuk mengikuti UKM hingga banyak bolos kelas.

Kedua, uang untuk adik dan biaya hidupnya sendiri yang kini tidak lagi disokong oleh ayah, beberapa bulan lalu Nanang memang sempat bertengkar lagi dengan ibu tirinya dan kemungkinan hal ini yang membuat uang bulanan mereka belum juga dikirimkan hingga tiga bulan berlalu.

Nanang bangkit dan meraih notes yang ia simpan di samping tempat tidur, ia mulai menuliskan satu per-satu targetnya.

1. Skripsi
2. Uang
3. Kerjaan
4. Jodoh

Nanang membaca sekali lagi catatannya lalu menyugar rambut.

"Kerjaan butuh ijazah, ijazah butuh skripsi, skripsi butuh uang, jodoh butuh uang. Ini nyari pesugihan di mana yang nggak pake tumbal?" gumam Nanang frustasi.

"Kayaknya Bang Naka atau Mas Ilham bisa bantu ini masalah kerjaan, penting nyari duitnya dulu buat bayar SKS sama bertahan hidup." Nanang membubuhkan catatan di samping dua hal tadi.

"Yuk, bisa. Pasti ketemu jalannya." Nanang mengulang kalimat motivasi yang pernah ia dengar, ia kembali membaca catatan tadi dan motivasinya yang setipis tisu tadi kini menghilang.

"Bisa ketemu jalan ke rumah sakit jiwa," keluh Nanang sambil memegangi perutnya yang kini keroncongan.

Nanang segera menuju dapur dan memeriksa kulkas, ada susu dan sisa martabak empat potong, sisanya sayuran dan daging ayam mentah yang tidak akan Nanang lirik karena ia terlalu lapar.

"Makanan yang nggak dikasih nama adalah milik bersama," ujar Nanang lalu mengambil martabak tersebut dan kembali ke kamar.

Nanang tahu tindakannya salah tapi ia sedang kepepet, sisa yang di dompet tinggal 30 ribu untuk beli bensin nanti siang. Sarapan tinggal cari di kulkas, makan siang nanti ia dobel dengan makan malam, rencananya ia akan pura-pura ada keperluan ke rumah Bu Endang sekalian numpang makan.

"Emang cerdas banget lo, Nang." Nanang memuji otaknya yang bisa membuat ide brilian di kondisi terdesak.

Nanang menikmati martabaknya, ia sengaja tidak membuka ponsel karena kemungkinan sekarang si pemilik sudah ngamuk-ngamuk di grup warga kosan.

Jumlah kata 1012

7 Mei 2023




Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang