17. Rupa-rupanya Banyak Rupanya

21 3 9
                                    

"Kalau kamu mau pulang ke rumah, saya bisa bantu untuk urusan hak asuh Kayla atau pun aset kamu yang lain."

Nanang tersenyum miring, ada satu kata yang terasa tidak pas untuk digunakan tapi ternyata kata itu memperjelas kedudukan Nanang bagi wanita yang kini duduk dengan angkuh di hadapannya.

"Saya? Aneh ya? Dari sekian panggilan kenapa ada wanita yang menggunakan panggilan itu untuk menyebutkan dirinya sendiri di depan darah dagingnya?" Nanang tertawa miris sementara wanita itu memutar bola matanya, malas karena Nanang mulai membahas hubungan mereka.

"Kamu tahu bukan itu inti pembicaraan ini. Kita bisa bertransaksi, kamu membantu saya dengan pulang ke rumah dan jadi anak baik selama beberapa waktu, saya yang akan mengurus soal hak asuh dan semuanya yang kamu inginkan dari Suyanto. Bukannya ini penawaran yang menarik?" ujar wanita tadi tidak peduli dengan protes Nanang.

"Mama? Bunda? Umi? Mami? Ibu? Ada banyak, loh. Kenapa harus dengan sebutan saya? Segitunya nggak mau mengakui darah dagingnya sendiri?"

"Lanang! Jangan kurang ajar sama orang tua!" Hardik wanita tadi tapi Nanang justru tertawa.

Nanang mengedarkan pandangan pada ruang kerja bernuansa coklat itu, dulu Nanang pernah meminta agar seluruh kamarnya dicat dengan warna coklat disertai harapan wanita ini mau tinggal 10 menit saja untuk menemani Nanang tertidur atau menyambutnya di pagi hari. Angan-angan kosong yang harus Nanang terima di usianya ke tujuh tahun.

"Oke, anggaplah aku setuju. Konsep anak baik seperti apa yang Bunda-ah, Nyonya Angraeni inginkan?"

Angraeni menujuk map yang ada di atas meja, Nanang meraihnya dan mulai membaca isinya lalu kembali tertawa terpingkal-pingkal.

"Jadi? Nyonya butuh anaknya ini untuk tambahan suara saat pemilihan direktur nanti? Banyak juga saham yang diserahkan keluarga Dinata hingga membuat anak perempuannya rela menemui darah dagingnya yang bertahun-tahun tidak ia akui." Nanang meremas kertas tadi lalu melemparkannya begitu saja.

Angraeni terlihat mengepalkan tangan menahan emosi, salah orang tuanya yang mewariskan begitu banyak saham pada Nanang sebagai cucu laki-laki pertama. Cucu yang begitu dibanggakan keluarga Dinata tapi serupa belenggu karena banyak impiannya yang tertunda karena harus melewati kehamilan yang sulit. Mimpinya untuk memimpin perusahaan keluarga tinggal selangkah lagi tapi mimpi itu seolah direnggut tepat di depan matanya, oleh orang yang sama yaitu darah dagingnya sendiri.

"Kalau Nyonya punya kelebihan uang, coba daftar kelas menjadi orang tua yang baik atau periksa ke dokter. Bertahun-tahun aku hidup dengan gelar penghalang dan aku pastikan kali ini tugas itu akan ku lakukan dengan baik." Nanang bangkit hendak meninggalkan ruangan Anggraeni.

Nanang berhenti sebentar di depan pintu lalu berbalik menatap Angraeni yang bahkan masih duduk dengan angkuhnya tanpa berusaha mengejar padahal jelas wanita itu juga butuh bantuannya.

"Di kesempatan berikutnya, kalau Nyonya berniat menganggu orang-orang sekitarku maka itu akan jadi awal kehancuran karir anda." Nanang hendak menutup pintu tapi ucapan Angraeni selanjutnya benar-benar membuat darahnya mendidih.

"Jadi begini sikapmu terhadap orang tua? Begitu ajaran ibu sialanmu itu? Memangnya kamu lupa karena siapa wanita kampung itu kehilangan kesempatannya untuk menjadi ibu seumur hidup?"

Kilasan kejadian masa lalu tiba-tiba saja muncul dan membuat Nanang merasa sesak tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya, tidak di depan wanita terhormat meski ia adalah ibu kandungnya.

"Setidaknya dia sukses menjadi ibu tidak seperti seseorang yang menganggap anak sebagai sebuah belenggu," Nanang membanting pintu ruangan lalu terdengar beberapa makian lalu diiringi suara benda yang pecah, Nanang tidak peduli.

Dadanya terasa sesak, lehernya tercekik kenyataan bahwa ia adalah luka bagi wanita yang ia sebut ibu. Rasanya Nanang ingin menghancurkan sesuatu tapi ajaran ibu adalah untuk selalu memaafkan.

"Sialan!" Umpat Nanang sambil menuju motornya, beberapa kali ia menabrak orang lain tapi Nanang hanya mengumamkan maaf tanpa benar-benar merasa bersalah.

"Kenapa ibu harus sebaik itu sih? Brengsek!" Nanang menendang motornya. Tiba-tiba saja ia jadi kesal dengan ibu, wanita itu selalu bersikap baik padanya dan anak-anak ayah yang lain. Saat Nanang demam karena kehujanan, bukan Anggraeni atau Suyanto yang menungguinya sepanjang malam sambil terus memeriksa suhu tubuhnya. Saat Nanang dilarikan ke rumah sakit karena terjatuh dari motor dan harus menerima 10 jahitan, bukan Suyanto atau Angraeni yang menangis memohon agar dokter menyelamatkan nyawa Nanang. Bukan Anggraeni atau Suyanto yang menyelamatkan Nanang dari rasa malu saat pesta kelulusan, sebagai lulusan terbaik ia didapuk untuk pidato dan diakhiri dengan pemberian bunga oleh orang tuanya, beberapa kali namanya disebut tidak ada Suyanto maupun Anggraeni yang naik ke panggung, melainkan Sari yang datang dengan berurai air mata karena bangga melihatnya akhirnya lulus SMA.

"Semua orang juga pasti lulus SMA, kamu kan tahu ayah dan Bunda sibuk jadi nggak bisa datang. Kami kerja keras gini kan juga buat kamu," ujar Suyanto saat Nanang meminta kehadirannya di sekolah.

Nanang ingin cepat-cepat kabur, ia membenci kenyataan bahwa dirinya yang mungkin melakukan dosa paling besar pada Sari. Kalau saja Sari berbalik memusuhi atau membenci Nanang saat itu, rasanya akan lebih mudah bagi Nanang untuk memaafkan dirinya sendiri. Soalnya Sari tetaplah Sari, wanita itu justru memeluk Nanang hangat dan mengatakan jika semua ini bukan kesalahannya, justru wanita itu yang memohon agar Nanang tetap mau menerima cintanya sebagai seorang ibu.

Nanang terlalu terburu-buru hingga hampir menabrak sebuah mobil di depan lobi, Nanang tidak ingin memperpanjang masalah tapi ia mengenali sosok yang turun dari mobil tersebut.

"Nanang? Kamu nggak apa-apa?" Ranti berusaha menghampiri Nanang yang hampir terjatuh dari motornya.

"Kamu ngapain di sini? Nggak, salah. Kamu ada hubungan apa sama pemilik perusahaan ini?" Nanang mencerca dan melihat raut wajah Ranti yang serba salah membuatnya memiliki beberapa tebakan tapi Nanang sungguh-sungguh berharap isi pikirannya kini salah.

"Aku bisa jelasin."

"Jelasin apa? Apa hubunganmu dengan pemilik perusahaan ini?"

"Sumpah! Aku nggak ada niat buat mempermainkan kamu, kamu percaya sama aku dan dengerin penjelasan aku dulu."

"Penjelasan yang akan aku dengar itu bergantung sama jawaban kamu," ujar Nanang tak mau fokus pertanyaannya teralihkan.

Ranti tampak frustasi, ia berusaha mendekat tapi takut Nanang akan langsung kabur tapi ia juga harus memberikan penjelasan pada pria di hadapannya ini.

"Nang, tolong dengerin aku dulu. Kita ngobrol dulu dan bahas semua prasangka yang ada di pikiran kamu itu." Ranti mencoba melembut, ia merutuki kebetulan yang membuat ia dan Nanang harus bertemu lagi di tempat ini.

"Siapa nama lengkapmu?" Nanang mengajukan pertanyaan lain dan Ranti kebingungan untuk menjawabnya.

"Kita obrolin pelan-pelan, aku bakal jelasin dan jawab semuanya tapi nggak di sini. Aku nggak ada hubungannya sama-"

"Namamu!" Sentak Nanang dan Ranti tertunduk.

"Kinanti Gayatri," cicit Ranti dan disambut tawa Nanang.

"Kinanti Gayatri? Cuma itu? Kamu lupa namamu sendiri? Perlu ku bantu eja?"

"Nang, please! Aku nggak ada niat buat mempermainkan kamu, aku cuma mau bantuin kamu." Ratri berusaha mendekati Nanang tapi pria itu langsung mengangkat tangan memberi isyarat untuk berhenti.

"Diajeng Kinanti Gayatri? Hahaha... Sialan! Ternyata dari awal aku ketipu." Nanang berlalu meninggalkan Ranti yang langsung memutar mobilnya untuk mengejar Nanang.

"Tolol banget! Sialan!" umpat Ranti sambil berusaha mencari motor Nanang diantara pengendera jalanan.


Jumlah kata 1127
Senin, 28 Oktober 2024

Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang