11. Bayang Masa Lalu

45 6 4
                                    

Untuk kesekian kalinya Nanang terbatuk-batuk kehabisan napas, Naka yang gemas melihat tingkah tolol adik kosannya itu hanya bisa menepuk-nepuk punggung Nanang agar batuknya cepat reda.

"Nggak enak, Bang." Nanang menyerahkan lintingan tembakau yang ia temukan di ruang UKM itu kepada Naka.

Naka menerima rokok tadi lalu melemparkannya ke dalam tong sampah. Sesungguhnya dia gatal sekali ingin bertanya tentang alasan Nanang galau hingga mengurung diri di ruang UKM, junior Nanang yang tidak berani menganggu pun memilih terbang ke fakultas sebelah demi mencari Naka untuk menjinakkan peliharaannya ini.

"Gue mau ngeluh tapi malu sama lo, Bang. Mau protes dapat orang tua model begitu tapi lo bahkan nggak pernah tahu emak bapak lo, jadi kayak nggak tahu diri banget kan?" Nanang akhirnya bersuara.

"Kenapa lagi tuh ayah lo? Kawin lagi?" Naka memang tahu masalah Nanang, mulai konflik pemuda itu dengan ayahnya hingga arti dua huruf di depan nama Nanang.

"Iya. Ketahuan lagi di hotel sama cewek, kena grebek. Ternyata ceweknya udah hamil 2-3 bulanan." Nanang menyerahkan ponselnya pada Naka.

Ponsel tersebut menunjukkan percakapan Nanang dengan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Nanang, setelah beberapa saat Naka mengangguk paham lalu menyerahkan ponsel itu kembali pada si empunya.

Nanang masih duduk di atas meja dengan kaki yang menendang-nendang udara, bahunya yang biasa tegap dan bergetar karena tawa kini terlihat rapuh karena menahan tangisan.

"Dia kapan sadar ya, Bang? Gue kasian sama ibu, beliau kuat banget ngadepin ayah. Ngebesarin anak dari selingkuhan suaminya pasti bukan hal yang mudah buat beliau, gue ngerasa berdosa tapi nggak tahu diri tetep pengen disayang sama ibu." Nanang menunduk mengusap air matanya.

"Puncak komedinya tuh gue sebel banget sama bokap, cuma liat dia kena kasus gini tetep aja kasian. Ditambah ini sampai masuk rumah sakit. Kok kayak bego banget ya gue, Bang?"

Naka menepuk pundak Nanang yang bergetar, adik kosan yang biasanya paling ceria dengan sejuta ide jahilnya ini ternyata hanya seorang anak yang mencari perhatian dari orang-orang sekitarnya. Naka jadi bertanya-tanya seandainya ia mengenal orang tuanya akan jadi seperti apa hubungan Naka dengan mereka?

"Bang," panggil Nanang sambil turun dari meja lalu menghampiri Naka.

"Laper." Tanpa dosa kini Nanang bergelanyut di lengan Naka, bahkan dengan sengaja menggunakan kaos Naka untuk membersihkan hidungnya yang penuh ingus.

Tidak ada protes dari Naka tapi justru itu yang membuat Nanang langsung menghentikan langkahnya keluar dari ruang UKM, kali ini dengan sengaja Nanang mengoleskan upilnya ke baju Naka dan pemuda kelahiran Lampung itu masih tidak bergeming.

"Abang? Ini masih Bang Naka, kan?" Nanang meraih penggaris di atas meja dan bersiap menjadikannya senjata jika tiba-tiba Naka berubah wujud.

"Nggak apa-apa. Gue nggak marah, nasib lo lebih miris soalnya." Naka tersenyum manis sekali sambil menoleh kaosnya yang terdapat bercak ingus Nanang dan membersihkannya dengan tisu.

Nanang baru akan bertanya lagi ketika ponselnya berbunyi, muncul nama Ilham sebagai pemanggil.

"Nang, udah gede ya sekarang? Udah berani ngerokok. Nanti bawa pulang ya rokoknya, ngudut bareng kita," ujar Ilham dari seberang sana.

Nanang shok lebih shok dari tersambar petir meski ia belum pernah dan amit-amit jangan sampai tersambar petir, di hadapannya Naka tersenyum lebih manis dari Teh Solo yang dioplos pakai gula biang. Nanang memeriksa grup kosan yang heboh karena foto kiriman Naka, foto Nanang dengan sebatang rokok di tangan.

"Abang lebih tega dari ibu tiri." Nanang keluar dari UKM sambil menghentakkan kaki karena kesal dengan Naka.

Naka berbalik mengikuti Nanang yang sama sekali tidak terlihat imut justru membuat jijik. Bayangkan saja dengan tingginya yang hampir dua meter dan otot lengan sebesar talas Bogor berjalan sambil menghentakkan kaki, lebih mirip raksasa yang hendak mencari mangsa.

***

Ruang rawat kelas VIP itu begitu hening, hanya bunyi mesin dan jarum jam berdetak yang terdengar. Sudah 15 menit Nanang berada di sana dan ia sama sekali tidak menemukan kalimat yang cocok untuk membuka obrolan.

Nanang ingin menyapa dengan menanyakan kabar tapi keberadaan mereka yang kini di rumah sakit jelas bukan sesuatu yang baik-baik saja. Lagi pula, hubungan keduanya tidak sedekat itu untuk saling bertukar salam selayaknya ayah dan anak.

"Kalau ada waktu, tolong angkat telepon adik-adik. Mereka masih kecil dan nggak tahu kondisi keluarga kita, kalau gagal jadi suami paling nggak jangan gagal jadi ayah di mata mereka." Nanang mati-matian menahan suaranya agar tidak bergetar demi menyelesaikan kalimatnya.

"Semua akan baik-baik aja kalau kamu nurut kemauan ayah. Padahal tinggal hidup enak dengan fasilitas terjamin bukan cuma buat kamu tapi juga adik-adik, kamu yang membuat mereka kesulitan." Pria yang terbaring di ranjang itu memberikan jawaban yang sudah Nanang duga.

Selalu saja begitu, ayahnya akan menyalahkan orang lain untuk setiap hal yang terjadi. Ibu yang meminta cerai pun salah ibu yang tidak bisa menerima kekurangan suami, padahal ibu sudah cukup sabar menerima perselingkuhan ayah yang tidak hanya sekali dua kali terjadi. Kaburnya Nnanag dari rumah juga dianggap pemberontakan karena salah didikan, padahal Nanang kabur karena tidak habis pikir dengan ide ayahnya yang meminta ia untuk menikahi salah satu selingkuhan ayah yang hamil dan menuntut pertanggungjawaban.

"Kayaknya ayah emang nggak pernah berasa bersalah, itu juga berarti kedatanganku ke sini sia-sia. Nanang pamit, ayah silakan cari kebahagiaan ayah. Ibu dan adik-adik biar jadi tanggung jawab Nanang."

"Coba liat sampai mana kamu bisa bertahan tanpa dukungan ayah," ujar ayah cukup keras yang jelas masih terdengar Nanang.

Rasanya masih banyak bantahan dan protes yang ingin Nanang sampaikan, ia ingin menyampaikan dari A hingga Z semua perbuatan ayah yang justru menghancurkan keluarga mereka tapi Nanang tahu mereka hanya akan berakhir saling adu urat tanpa menemukan titik temu.

"Maaf, Mas Nanang.  Sudah ditunggu dokter di ruangan Non Kayla," ujar seorang pria berpakaian hitam yang Nanang kenal sebagai salah satu pengawal di rumahnya.

"Saya nggak keliatan berantakan kan, Pak?" Nanang merapikan rambutnya dengan tangan sambil melangkah menuju ruang rawat khusus anak-anak.

"Aman, Mas. Masih ganteng kayak biasanya," balas pria tadi bergurau yang disambut Nanang dengan tawa.

"Kayla lihat semuanya, Pak?" Nanang memastikan sebelum membuka pintu ruang rawat Kayla.

Pria tadi menggeleng. "Cuma ingat ada yang berantem dan sempat dipukul Nyonya, lebih jelasnya dokter mau ngobrol langsung sama Mas Nanang."

Nanang mengembuskan napas, membuang sisa-sisa emosi yang ia tahan sejak bertemu dengan ayahnya tadi.

"Bisa, Nang. Harus bisa kuat buat semuanya," ujar Nanang di dalam hatinya.



Jumlah kata 1031
10 September 2024


Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang