4. Pendekatan

33 6 3
                                    

"Mbak, ini benar jumlahnya segini?" Nanang menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan saldo ATM.

Ranti baru saja mentransfer uang sejumlah empat juta ke rekeningnya, uang muka bagi kerjaan magang yang akan dikerjakan pria itu.

"Kurang? Emang berapa bayaran sekolah adikmu?" Ranti mengeluarkan ponselnya lagi dan langsung membuka aplikasi perbankan.

Nanang menepuk jidat. "Kebanyakan, saya mulai kerja aja belum. Yakin setelah ini saya bakal balik? Kalau saya kabur gimana?"

Ranti tertawa sambil mengibaskan tangan. "Kan KTP sama KTM udah difoto, nanti tinggal dicari ke kampus sama ke rumah."

Nanang ingin mendebat tapi urung karena ponselnya berbunyi, kali ini ibu yang menelepon.

"Mas, transfer ke adik banyak amat. Buat kuliah Mas Nanang gimana? Emang nggak ada fotokopi atau iuran uang kas gitu?" tanya ibu begitu panggilan terhubung.

Nanang tersenyum melihat wajah ibu yang teduh, rasanya air mata Nanang langsung menggenang dan ingin menumpahkan semua masalahnya pada sang ibu, mati-matian ditahannya air mata itu karena tidak ingin membuat Ibu kepikiran.

"Aman, Bu. Ayah lagi ada proyek gede jadi aku kebagian banyak juga," sahut Nanang sambil tertawa kecil.

Ibu ikut tersenyum, layar ponsel tampak berpindah-pindah karena ibu berdiri dan beralih ke depan kompor.

"Masak apa, Bu? Mas kangen masakan Ibu." Nanang menghela napas melihat Ibu yang masih harus bekerja keras di hari tuanya.

"Kemarin kan Ibu kirim ke rumah, titip ke tetangga yang kerja di komplek tempat tinggal ayah."

Nanang menelan ludah, dia sudah minggat dari rumah ayah hampir dua tahun. Kiriman makanan dari ibu kemungkinan berakhir di tong sampah karena dianggap kurang bergizi oleh istri baru ayahnya.

"Mas pas ada kegiatan nginep satu minggu, pas pulang sudah abis."

"Nanti ibu kirimin lagi. Kamu sudah makan, Mas?"

Nanang mengangguk sebagai jawaban, ia mengganti arah kameranya menjadi kamera belakang, berniat menunjukkan menu yang ia pesan. Sesaat setelah kamera berganti terdengar teriakan antusias, disusul ucapan syukur dari ibu, Ranti yang kebingungan karena namanya dipanggil, dan Nanang yang baru menyadari kesalahannya.

Ibu: Pokoknya nanti dikenalin ke ibu, Mas. Ini adek udah heboh katanya tadi penulis favorit dia, nitip tanda tangan, Mas.

Nanang meringis membaca pesan yang baru ia terima, setelah kehebohan tadi Nanang memang langsung mematikan panggilan dengan alasan ada keperluan mendadak. Nanang baru selesai membalas pesan ibunya saat terdengar ketukan Ranti di atas meja, Nanang berdeham sementara pikirannya mencari penjelasan yang tepat untuk Ranti.

"Kamu dekat dengan keluargamu?" Ranti justru lebih dulu memulai obrolan.

Ada perasaan asing yang Ranti rasakan melihat interaksi Nanang dan ibunya, Ranti tidak pernah tahu bahwa menu masakan bisa dibahas menjadi topik yang menyenangkan. Ranti mencoba mencari-cari di memorinya sendiri kenangan serupa tapi nihil, tidak pernah ada memori seperti itu.

"Dari dulu kami memang akrab, terlebih setelah ibu bercerai." Nanang tersenyum sambil menyebutkan kata cerai seolah hal itu sama sekali tidak menganggunya.

"Irinya," ujar Ranti di dalam hati.

Ranti sadar suasana hatinya mulai memburuk jika sudah berurusan dengan keluarga, ia pun mulai memikirkan rencana untuk kabur dari suasana ini. Nanang paham betul dengan tingkah Ranti yang terus-menerus menengok ke arah pintu kafe, ia pun mempercepat kunyahannya.

Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang