3. Ini Wisuda!

32 6 3
                                    

Sewaktu membuat rencana kemarin, Naka memang membebaskan Nanang untuk membuat kehebohan karena ide mahasiswa komunikasi itu selalu luar biasa, salahnya Naka lupa bahwa Nanang adalah manusia yang tingkah normalnya pun mirip orang gila dan hal itu terbukti siang ini.

"Hah." Naka menghela napas untuk kesekian kalinya setelah melihat Nanang dan 'teman-teman barunya' yang ikut menyambut wisuda Wisnu.

Nanang membawa dua ondel-ondel yang ia pinjam dari fakultas lain untuk meramaikan siang ini, beberapa orang bahkan bertanya-tanya mengira setelah wisuda ini akan langsung diadakan lamaran.

"Foto lagi, dong. Gaya bebas," perintah Nanang pada Wisnu yang berdiri diantara kedua ondel-ondel.

Biasanya hal-hal begini cenderung Wisnu hindari karena membuatnya lelah, sebagai introvert sejati Wisnu lebih suka mengurung diri di kamar tapi hal itu tidak berlaku hari ini. Pria yang baru menyelesaikan pendidikan sarjana itu pasrah saja mengikuti setiap arahan Nanang.

"Bang Naka senyum, Bang. Ditinggal wisuda emang sakit tapi Abang harus tetap tersenyum biar cakep di foto." Nanang berteriak memberi komando.

Naka tersenyum lalu berujar, "Ingetin gue buat matiin keran air pas Nanang lagi mandi."



Nanang tersenyum sambil menatap foto-foto yang ia ambil saat wisuda Wisnu, ia malas memilah foto yang ada dan hanya mengunggahnya ke link gdrive. Bagi Nanang foto bagus adalah foto yang menampilkan wajah gantengnya, tentu saja hal ini bisa saja berbeda untuk warga kosan yang lain.

Nanang kemudian mendongak saat kursi di hadapannya ditarik, seorang wanita dengan rambut yang dikuncir kuda duduk di hadapannya.

"Terima kasih kamu sudah bersedia datang," ujar wanita itu.

"Kebetulan hari ini lagi senggang, Mbak?" Nanang bingung menentukan panggilan untuk lawan bicaranya itu.

"Nama saya Ranti, kamu bisa panggil Mbak atau langsung nama senyaman kamu saja." Ranti memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanannya.

"Jadi soal tawaran kerja kemarin gimana, Mbak?" tanya Nanang langsung pada alasan utama ia mau menemui Ranti siang ini.

Ranti mengetikkan sesuatu di ponsel dan menunjukkan pada Nanang, layar itu menampilkan halaman mesin pencarian yang menunjukkan wajah Ranti dan beberapa informasi tentangnya.

"Saya seorang penulis novel di platform online, bulan lalu cerita yang saya ajukan lolos dan saya harus menyelesaikan cerita tersebut tepat waktu sambil menjaring pembaca agar kontrak saya yang berikutnya langsung diterima juga." Ranti menunjukkan tampilan aplikasi tempatnya menulis.

"Sialnya waktu ngajuin cerita itu saya cuma modal nekat, saya mencoba cerita tentang romansa padahal saya tidak pernah menulis tentang hal itu. Akibatnya sudah satu bulan berlalu dan novel saya mendapat banyak ulasan jelek dari pembaca, kalau dalam dua bulan tidak ada perubahan maka tidak ada bayaran yang saya terima." Ranti menutup penjelasannya lalu menatap Nanang yang kebingungan.

"Terus kerjaan saya apa, Mbak? Kalau soal nulis novel saya juga nggak bisa, Mbak. Bikin artikel tugas aja saya contek sana-sini." Nanang tersenyum masam.

Saat wisuda Wisnu tempo hari, Nanang tiba-tiba dihampiri Ranti yang menyerahkan kartu nama dan mengatakan ia memiliki pekerjaan untuk Nanang, untuk memastikan keduanya kembali bertemu Ranti bahkan menyandera kartu mahasiswa dan KTP milik Nanang.

"Ini punyamu bukan?" Ranti tiba-tiba menepuk lengan Nanang yang baru selesai menelepon Ibu.

Saat berbalik Nanang menemukan Ranti yang menyodorkan dompet kulit berwarna hitam, Nanang melihatnya sekilas lalu menggeleng.

"Maaf tapi bukan, Mbak. Dompet saya nggak gitu modelnya, coba mbak lapor ke satpam saja."

"Coba periksa dulu tadi saya lihat ini jatuh waktu kamu jalan," desak Ranti.

Nanang tahu itu bukan dompetnya, ia jelas bisa mengenali dompetnya hanya dari tampilan luarnya. Melihat Ranti yang bersikeras Nanang pun mengeluarkan dompetnya dan sejurus kemudian dompet Nanang berpindah ke tangan Ranti.

"Permisi," ujar Ranti lalu membuka dompet Nanang.

Wanita itu memeriksa bagian samping dompet yang berisi beberapa kartu-kartu, lalu menarik dua kartu dari sana.

"Saya punya kerjaan buat kamu tapi detailnya nggak bisa dijelasin sekarang, hubungi saya dan nanti saya balikin ini." Ranti mengacungkan kartu mahasiswa dan KTP Nanang lalu berbalik pergi.

Nanang mengentikan lamunannya ketika mendengar bunyi gelar berdenting akibat beradu dengan meja, seorang pelayan mengantarkan pesanan Ranti lalu berbalik pergi setelah tersenyum.

"Maaf, Mbak. Saya masih nggak ngerti karena jujur yang dipikiran saya sekarang negatif semua, mulai dari awal mbak nawarin kerjaan tapi menyandera kartu mahasiswa dan KTP itu udah memberikan kesan yang buruk, Mbak." Nanang tersenyum hati-hati berharap omongannya tidak menyinggung Ranti.

"Saya mengaku salah untuk yang satu itu, saya frustasi karena merasa ini satu-satunya kesempatan dan saya harus memastikan kesempatan kali ini tidak terlewatkan." Ranti mengambil tasnya lalu mengembalikan kartu identitas Nanang.

"Tugas kamu cukup pura-pura naksir sama saya dan berusaha PDKT sehingga pengalaman ini bisa saya tulis sebagai isi novel," ujar Ranti menjelaskan rencananya.

Nanang tertawa kecil, "Saya butuh kerjaan tapi nggak minat jadi simpanan, Mbak. Siapa tahu Mbak Ranti sudah punya suami? Suami Mbak kerja di luar kota jadi Mbak kesepian terus bikin semua alasan ini."

Ranti kembali membuka tasnya dan kini mengeluarkan KTP dan menyodorkannya ke arah Nanang.

"Bisa dilihat saya masih lajang," ujar Ranti.

Nanang mendorong kartu itu kembali ke arah Ranti.

"Saya nggak ada waktu buat main sandiwara cinta, Mbak. Saya butuh kerjaan yang pasti." Nanang menolak dengan halus, meski ia sedikit kecewa karena ini tandanya ia tidak akan mendapatkan pekerjaan tapi Nanang tidak ingin bermain-main dengan perasaan seseorang.

"Nggak bisa kamu pertimbangkan dulu? Kamu butuh berapa? Kalau nanti kita jalan atau pergi semua saya yang tanggung, kamu cuma perlu fokus bikin saya merasakan pengalaman ditaksir cowok," bujuk Ranti memelas.

Karirnya sebagai penulis tetap akan berakhir jika karyanya kali ini gagal menarik pembaca, selain karena penghasilan sebagai penulis di platform tetap lebih banyak, Ranti tidak bisa kehilangan kontrak sebagai penulis tetap karena sekarang beberapa platform menerapkan syarat yang cukup sulit untuk seleksi penulis baru.

Nanang hendak menjawab tapi ponselnya berdering, ia minta ijin untuk mengangkatnya setelah mendengar bunyi ponsel yang khusus ia atur untuk adiknya.


"Halo, Dik."

"Mas, udah ditanyain ke Ayah? Aku dua minggu lagi ada ulangan, Mas. Kalau belum bayaran nggak bisa ambil kartu ulangan dan nggak bisa ikut ujian, Mas." Terdengar suara adik Nanang yang bergetar karena menahan tangis.

"Ini sekolah ngasih surat panggilan buat Ibu, Mas. Belum aku masih karena takut Ibu kepikiran, kemarin darah tinggi Ibu kumat lagi, Mas. Ayah dihubungi juga nggak bisa. Gimana ya, Mas?"


Jumlah kata 1006
28 Mei 2023

Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang