Sepanjang 20 tahun lebih hidup di dunia, Nanang tidak pernah membawa seorang gadis untuk sebuah acara romantis bernama kencan, ide Ranti yang tiba-tiba minta diajak kencan pun membuat Nanang kelabakan. Biasanya Naka punya seribu satu solusi untuk setiap penghuni kosan tapi beberapa hari ini pemuda itu terlihat begitu suram, Nanang tahu ia akan sangat berdosa kalau sampai merepotkan Naka untuk hal ini.
Bermodal modus nganterin Uci dan Lala ke kampus, akhirnya Nanang berhasil membuat daftar kencan yang diinginkan oleh setiap wanita. Niatnya Nanang ingin cari info dari Pia tapi diurungkan karena takut malah membuat cowok yang sempat menemani Pia ke wisuda Mas Wisnu jadi salah paham. Bermodal daftar rekomendasi tempat kencan yang disusunnya dengan saksama, Nanang akhirnya berani menghubungi Ranti duluan dan keduanya sepakat untuk bertemu siang ini di kafe langganan.
"Ini apa?" Ranti menerima kertas yang diserahkan Nanang dengan raut kebingungan.
"Daftar tempat kencan, Ran. Ini hasil nanya sama penghuni kosan yang lain," ujar Nanang dengan penuh percaya diri.
Kepercayaan diri itu tidak bertahan lama karena sedetik kemudian Ranti tertawa, padahal tawa Ranti itu merdu dan enak didengar tapi anehnya tawa itu mampu meruntuhkan kepercayaan diri Nanang dalam sekejap mata.
"Makan es krim, ke taman, belanja alat mekap, beli makanan, semua ini kelihatan seru untuk dilakukan, sih." Ranti mengangguk-angguk meneliti daftar yang Nanang serahkan.
Nanang justru salah tingkah di tempatnya, pria itu menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum canggung. Respon Ranti cukup sopan tapi Nanang justru merasa ada yang salah dan ia tidak bisa menemukan letak kesalahannya itu.
"Jadi mau coba yang mana dulu?"
"Hah?"
"Kita mulai kencan hari ini, kan? Kamu ada acara hari ini?" Ranti mencebikkan bibir, senyum antusias langsung menghilang dari wajahnya.
"Aku free kok. Ini beneran mau? Aku nggak pernah ngajak orang kencan, Ran. Biasa hari libur di rumah atau naik gunung sama teman." Nanang mengutarakan keraguannya.
Ranti mengetuk-ngetuk meja lalu mengambil ponsel untuk memfoto daftar tempat kencan yang diserahkan Nanang, setelah itu ia mengembalikan kertas tersebut dan menatap Nanang penuh harapan.
"Aku juga nggak pernah kencan. Beberapa kali nonton film atau jalan tapi nggak seru? Rasanya malah pengen cepet-cepet pulang." Ranti meringis mengingat kenangan kencannya yang sama buruknya dengan Nanang.
Keduanya kemudian tertawa, Ranti merasa Nanang yang membuat daftar tempat kencan dan disesuaikan dengan keinginannya adalah sesuatu yang lucu, hal yang baru Ranti temui. Begitu pula Nanang yang menyadari bahwa semua keraguan ternyata hanya pikiran buruknya saja, ia terlalu fokus pada tempat kencan idaman dibandingkan mengisi kegiatan kencan itu agar menyenangkan.
"Sejujurnya aku pengen naik gunung, sih. Mungkin kita ke Cibubur? Pasang gantungan sambil jajan pop mie? Ke puncak pasti lama macet di jalan aja." Ranti mengutarakan idenya.
Nanang langsung semangat mendengar pilihan kegiatan Ranti, hampir semua gunung populer di Indonesia pernah Nanang taklukan kecuali gunung wanita karena takut dilaporkan pelecehan seksual.
Ranti menunjukkan foto dari ponselnya, "Katanya penulis bagus kalau sering berinteraksi dengan alam. Temanku kemarin naik gantungan begini terus dapat ide bagus buat novelnya, aku jadi pengen coba."
"Itu namanya hammock, Ran. Kebetulan aku punya, di UKM juga ada dan boleh dipinjem." Nanang mengambil ponselnya dan memamerkan fotonya yang sedang duduk di atas hammock.
"Mau!" Ranti langsung berseru semangat begitu melihat foto Nanang.
"Kalau naik gunung langsung dadakan nggak berani, Ran. Bukit mau? Cibubur bisa, sih. Biasa emang buka buat disewain tapi sekalian satu lapangan gitu sama fasilitas yang lain nggak cuma dua pohon buat pasang hammock aja." Nanang menjelaskan sementara Ranti tampak berpikir.
"Sewa lapangan berapa?"
Nanang mengembuskan napas, "Manusia gabut mana yang nyewa Cibubur cuma buat numpang gelayutan di pohon. Lagian Cibubur rame terus udah banyak yang pesan."
"Terus? Pokoknya kegiatan alam gitu." Ranti memandangi foto yang tadi Nanang pamerkan.
"Depan kompleks sana ada taman, intinya touch some grass," sahut Nanang santai.
Ranti kesal dan memukul lengan Nanang yang malah tertawa, "Rumput depan rumah juga ada, campur sama kembang pasir."
Keduanya tertawa terbahak-bahak lalau bertos ria, sadar selera humor keduanya cukup nyambung.
"Bukit aja kali ya? Deket dari Jakarta, jalurnya juga santai 2 jam sambil leyeh-leyeh juga nyampai."
"Gas!!" Ranti langsung menarik tangan Nanang untuk bangkit dan menuntun pria itu ke parkiran.
Ranti tampak celingukan mencari motor Nanang tapi tidak menemukannya, akhirnya Nanang justru menarik tangan Ranti untuk sedikit menepi karena keduanya tepat berada di depan pintu masuk kafe.
"Sekarang jam 11 sementara perjalanan ke sana dua jam jadi jam 1an nyampe, panas banget kalau naik jam segitu. Kayaknya kamu juga butuh ganti baju, sih. Nggak mungkin kita naik gunung pake celana levis gini." Nanang meringis sambil mengalihkan pandangan dari kaki jenjang Ranti yang terbungkus levis.
"Kenapa? Kan nggak pake rok, bisa gerak bebas kok." Ranti meneliti tampilannya dari atas ke bawah dan merasa tidak ada yang salah dengan itu.
"Bisa gerak tapi nggak bagus kalau terlalu ketat nanti aliran darah nggak lancar bikin cepat pegal, nggak bisa serap keringat nanti takut jadi biang keringat, kalau hujan terus basah jadi berat dan lama kering." Nanang menjelaskan masih sambil memalingkan wajah, tidak ingin dianggap tidak sopan karena terang-terangan menatap tubuh Ranti.
Nanang memainkan ponselnya sebentar lalu tidak lama kemudian ponsel Ranti berbunyi tanda ada pesan masuk.
"Itu udah aku kirim list bawaannya, kamu cukup bawa baju sama obat-obatan pribadi, konsumsi dan yang lain aku yang urus. Sekarang aku anterin pulang dulu buat siap-siap, nanti jam 4 aku jemput lagi kita naik motor aja."
"Kenapa nggak naik mobil? Bawa mobilku aja, ini perlu tenda, kompor, alas tidur, sleeping bag, banyak banget ini gimana bawanya kalau pakai motor?"
Nanang tertawa lalu mengandeng tangan Ranti menuju arah motornya, "Saran kamu ada benernya tapi kalau naik mobil nanti nggak nyampai atas, aku takut kita malah mobilnya selip. Barang bawaan kamu bawa di tas ukuran sedang aja, kita cuma nginep satu malam kok."
Setelah Ranti mengangguk setuju, Nanang mulai menyalakan motornya meninggalkan kafe menuju rumah Ranti. Keduanya menyempatkan mampir ke supermarket untuk membeli beberapa keperluan karena Nanang takut jika Ranti memiliki alergi makanan tertentu.
"Kamu langsung pulang?" Tanya Ranti begitu motor berhenti di depan rumahnya.
"Iya, nanti aku jemput sekalian bawa barang yang lain." Nanang menerima helm yang Ranti serahkan lalu menunggu gadis itu masuk ke dalam rumah.
"Nggak mau bantuin aku siap-siap?" Ranti menujuk rumahnya.
"Rumahmu kosong?" Ranti langsung mengangguk sementara Nanang menggeleng. "Takut digrebek warga hehehe."
Ranti berdecih. "Masuk rumah cewek nggak berani tapi ngajak ke gunung cuma berdua."
"Loh, kalau di gunung kan nggak ada yang bakal ngrebek, Mbak."
Keduanya tertawa dan Ranti langsung masuk ke rumah.
Jumlah kata 1064
18 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)
General FictionKewajiban: 1. Skripsi (Tertunda, kejar nilai dulu uyeyeyeeee) (Butuh duit buat bayaran) 2. Bayar Kontrakan (Udah ijin telat sama Bu Endang uyeyeyeeee) 3. Biaya sekolah adik-adik (Butuh duit juga uyeyeyeeee) 4. Jodoh (Belum dicari uyeyeyeeee) 5. 6. ...