8. Sidang Gawat Darurat.

49 10 21
                                    

Nanang masih pura-pura sibuk memindahkan tas carrier dan segala perlengkapan kemahnya, Nanang memindahkan kompor portable yang sudah dibersihkan ke atas lemari, ia juga melirik Naka yang duduk di atas kasur dan Nanang harus buru-buru menunduk karena Naka juga sedang mengawasinya.

"Mau jemur ini basah, Bang." Nanang langsung ngibrit ke lantai dua.

Pemuda itu menyampirkan asal handuk di jemuran lalu bernapas lega karena berhasil kabur dari Naka, sayangnya kelegaan itu tidak bertahan lama.

"Nang? Sini temanin ngopi. Bawa skripsimu udah sampai mana sekalian." Wisnu tiba-tiba muncul dengan segelas kopi.

"Maaf, Mas. Aku dipanggil Mas Ilham katanya penting banget." Nanang kembali kabur ke lantai satu dan mengendap-endap duduk di ruang tamu. Nanang mengintip pintu kamarnya yang terbuka tanda Naka masih berada di sana.

"Nang? Tadi mas manggil kamu kenapa ya?"

Nanang terlonjak dari duduknya dan Ilham tanpa dosa langsung duduk di hadapan Nanang. Peluh menetes dari kening Nanang, ia merasa habis syuting film horor dengan tiga manusia tertua di kosan itu sebagai dedemitnya. Kalau sudah begini Nanang tidak punya pilihan lagi, ia tinggal pilih mau mati di tangan Ilham, Wisnu, atau Naka.

Dua dedemit lainnya kini berkumpul di ruang tengah, kejadian yang langka karena Wisnu yang biasanya sibuk mengurung diri kini ikut-ikutan memojokkan Nanang, sepertinya pria itu jadi punya banyak waktu luang setelah menyelesaikan skripsi dan wisuda.

"Kenapa ini tumben abang dan mas-mas yang sibuk ini mencari dedek Nanang? Mau nyuruh beli martabak, beli bensin atau beli galon?"

Wisnu sibuk menyeruput kopi, Ilham membaca map berlogo perusahaannya dan hanya Naka yang balik menatap Nanang. Kalau sudah begini, sudah jelas di tangan Naka-lah nasib Nanang bergantung.

"Kamu nggak beneran jadi kurir narkoba, kan?" Tuding Naka tanpa basa-basi. Kalau itu penghuni kosan yang lain maka Naka tidak akan terlalu khawatir, masalahnya ini Nanang manusia yang kadang kabel otaknya nggak disambungkan. Sebagai manusia yang menyarankan ide gila itu, tentu saja Naka merasa bertanggung jawab.

"Sekarang semua yang berhubungan dengan narkoba halal ditembak mati di tempat, Bang. Dosa masih banyak, adik-adik masih kecil nggak bakalan buru-buru cari mati," sahut Nanang dengan senyum tengilnya.

Senyum yang hanya bertahan sedetik karena Naka tidak balik tersenyum, biasanya pria itu akan menempeleng kepala Nanang kalau berkata sembarangan, melihat Naka yang masih duduk dengan pandangan tajam, Nanang sadar penghuni tertua kosan itu sedang serius.

"Terus? Kamu dapat kerjaan dari Mas Ilham?" Naka berujar lagi tapi belum sempat Nanang menjawab ilham sudah lebih dulu menggelengkan kepala.

"Kamu bantuin joki skripsi Wisnu?" lanjut Naka dan kali ini Wisnu yang menggeleng.

"Terus ini semua?" Naka menunjuk meja ruang tamu dan kulkas yang di dalamnya penuh terisi.

"Aku lagi ada rejeki aja, Bang. Jadi mau bagi-bagi ke yang lain kan biasanya aku yang sering minta." Nanang menyugar rambutnya salah tingkah.

"Udah baikan sama Ayah? Kamu nggak dapat kiriman uang dari kampung, paling makanan aja dan itu isi kulkas jelas bukan makanan yang dikirim dari kampung. Jadi?" Naka meletakkan sikunya di lutut, lalu menatap Nanang yang kebingungan di tempat.

"Aku dapat kerjaan, Bang. Hasilnya lumayan, aku udah kirim ke kampung buat adik-adik, udah bayar kosan dan bayar UKT juga, itu cuma sisa dikit hitung-hitung berbagi rejeki ke warga kosan lain." Nanang menunduk, ditatap oleh Naka yang punya tatapan setajam silet apalagi ia jelas ketahuan berbohong jelas membuat Nanang ketar-ketir.

Lanang Strong (Stres Tak Tertolong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang