2. Hamdan

42 12 10
                                    

Pagi-pagi sekali, sebelum azan mengetuk telinga, aku memergoki Jeha sedang kelimpungan di dapur. Kuperhatikan dia mondar-mandir, garuk kepala, berbalik, mengangkat barang kecil, lirik sana dan sini, garuk kepala lagi, lalu mondar-mandir lagi. Aku belum sepenuhnya bisa berpikir. Jangankan berpikir, melek pun belum bisa lebar. Pertanyaan kulontarkan menuju istriku.

"Nyari apaan?" Aku mengambil gelas kosong dan mengisinya dengan air putih.

"Pulpen. Kemarin sehabis aku nyatet, kutaruh di meja ini." Telunjuk Jeha mengarah ke meja makan di dekatnya berdiri.

"Rumah kita nggak luas-luas banget, palingan ada di sekitar situ aja. Kamu minum air putih dulu biar fokus. Habis itu ambil wudu," kataku sambil menyodorkan minum.

Aktivitas subuh pun lewat. Paginya, saat aku menyiapkan sarapan, Jeha menggerutu lagi. Duh, di hari libur begini semestinya dia lebih santai. Namun, bukannya berleha-leha saja, dia memilih untuk berkutat dengan 'calon' naskahnya. Aku sebutnya begitu, berhubung belum selesai dipersiapkan dan ditulis.

"Pulpen kan udah ketemu, kamu nyari apa lagi?" Kubagi roti tawar menjadi dua dengan hasil irisan berbentuk segitiga, lalu menjatuhkan selada dan telur ceplok setengah matang, tak lupa membubuhkan tomat serta … ah, ancrit! Intinya aku membuat roti lapis lah!

"Tintanya abis!" Jeha mengepalkan kedua tangan dan memukul-mukul meja. Betapa menggemaskan, bukan? Kaum Adam, apakah di antara kalian ada yang tidak setuju kalau perempuan sedang ngambek itu terlihat berkali lipat lebih imut?

Sepiring roti lapis kusodorkan pada Jeha. Tak lupa susu cokelat hangat kesukaannya. Aku menepikan alat tulis dan segera dapat tatapan protes darinya, tapi berhubung kami punya kebiasaan tiap kegiatan ada waktunya, Jeha pun manut saja.

"Makan dulu, habis ini kita jalan-jalan ke pasar sekalian beli gula, pulpen juga. Buat stok deh, jaga-jaga kalau habis lagi. Buku juga mau? Atau mampir perpus dulu biar ada lebih banyak referen–"

"I love you, Hamdan."

Aku membeku.

***

"Hamdan, menurut kamu ...."

Aku mengurangi laju motor dan berhenti di bagian paling tepi jalan sebelah kanan. Lampu merah. Di sampingku ada bapak-bapak dengan sarung motif kotak berwarna hijau yang sedang merokok di atas motornya. Mulutku gatal ingin mendamprat. Dia tidak memikirkan pengguna jalan yang lain yang bisa saja matanya kemasukan abu dari rokok sialan itu. Namun, istriku lebih penting dari apa pun, kuabaikan saja bapak-bapak itu sambil berdoa semoga rokoknya mati kena berak burung.

"Ide itu apa?" Jeha melanjutkan.

Sambil berpikir, aku mengambil selembar uang dan menyerahkannya kepada seorang anak yang bawa-bawa kardus dengan tulisan Mohon donasinya untuk korban kebakaran!

"Ide itu ... apa, ya?"

Kami diam sejenak di tengah kasak-kusuk masyarakat kota kecil ini.

"Ide itu ...."

Kunyalakan lampu peringatan ke kanan, kutarik gas motor, dan melaju karena lampu sudah berubah menjadi hijau.

"Hasil pemikiran abstrak yang masih mentah dan perlu diolah agar menjadi sesuatu yang matang, atau padat, atau berisi, atau asoy." Aku membubuhkan tawa di akhir jawabanku. Jeha memukul punggungku. Bukan pukulan kesal, tapinya. Pukulan mesra.

"Serius, Sayang."

Aku tidak salah. Ide adalah sebuah gagasan yang muncul dari mana pun, yang tercetak di dalam pikiran. Kita perlu mengolah lagi ide itu agar menjadi sesuatu yang matang, sesuatu yang lebih berwujud, lebih jelas, dan lebih menarik untuk kemudian dikeluarkan sebagai buah pikiran. Mahakarya, seniman bilang.

"Ya, itu."

Kami mampir ke minimarket. Jeha mengambil beberapa makanan ringan, buat camilan hari ini, katanya. Aku sih oke-oke saja. Toh, belakangan dia sudah jarang ngemil, sekali-sekali menyenangkan istri. Setelah membeli beberapa hal lain, kami menuju kasir dan membayar, lalu naik ke motor lagi. Tujuan berikutnya pasar.

Entah kenapa aku agak tidak suka dengan pasar. Pedagang yang terlalu memaksa, anak kecil ke sana dan ke mari, bapak-bapak menyebalkan yang main serobot sana-sini, ibu-ibu tukang gosip, dan lain lain, dan seterusnya, dan sebagainya. Selain berisik, mereka mereka juga pada sibuk sendiri. Dasar masyarakat. Maksudku, hei lihat, mereka memupuk egois. Ada kucing dengan anak-anaknya yang memohon belas kasih dan tak ada yang memberi makanan.

Kubuka salah satu bungkus camilan dan segera dihadiahi pelototan istriku. Aku memasang tatapan tanya, dia balas pasang tatapan murka. Kutunjuk kucing-kucing tadi berada, barulah wajahnya melunak dan iba. Aku dibiarkan berjalan menerobos orang-orang dan kuberi makanan itu pada kucing-kucing tadi. Saat sadar, beberapa pasang mata memperhatikanku dengan senyuman mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan.

Kami buru-buru minggat dari sana setelah dapat apa yang dicari. Tujuan selanjutnya adalah toko buku. Istriku bilang lebih baik bau ikan dulu baru ke toko buku daripada bawa-bawa buku ke pasar. Nah, Jeha adalah jenis manusia pecinta buku sampai hampir-hampir menyembahnya. Coretan, lipatan, atau bahkan goresan sedikit saja terlihat pada buku, akan dia cari pelakunya walau sampai ke lubang neraka. Apalagi kalau sampai buku kena bau aneh-aneh. Macamnya begitu, sih. Anak literatur gitu, loh.

Baru turun dari motor, Jeha mematung. Aku hendak bertanya ada apa, tapi leherku lebih cepat daripada mulutku. Kuikuti ke arah mana pandangan istriku tertuju, barulah pemahaman pelan-pelan hinggap di kepala.

Sepasang muda-mudi sedang bergandengan tangan, tertawa riang sambil bercanda. Lelakinya membukakan pintu dan perempuannya menunduk khidmat, seperti seorang Pangeran yang membukakan gerbang istana untuk Tuan Putri. Aku dapat ilham, aku paham. Kutarik kembali kepala menuju istriku dan oh! Lihat! Wajahnya senang bukan kepalang!

"Hamdan?"

"Iya, Sayang?"

"Aku dapat karakter! Temenin bikin penokohan!"

Inspirasi bisa datang dari mana saja.

"Dengan senang hati, My Lady."

Biniku Kang Nulis[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang