5. Jeha

32 8 13
                                    

Jika bukan Jeha yang minta, mungkin Hamdan tak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di sini. Suara tertawa anak-anak yang main kejar-kejaran kadang menjadi sesuatu yang sangat dihindari suaminya itu. Bukan apa-apa, tertawanya mantan kekasih Hamdan, katanya mirip suara anak-anak. Bahkan tidak sedikit yang bilang begitu menggemaskan suara tertawa mantan Hamdan.

Omong-omong soal mantan, Jeha selalu memperhatikan gelagat suaminya tiap-tiap dia bahas masa lalu Hamdan. Lirikan Hamdan yang kadang tidak terpaku pada objek yang diliriknya seringkali membuat Jeha jengkel. Begitu sukar menebak isi kepala pria yang terlihat tidak fokus. Menyebalkan! Ada masanya di mana Jeha begitu sensitif sampai-sampai mau mencolok mata Hamdan.

"Kamu kenapa?" Hamdan menjatuhkan pandangan kepadanya. Kepada Jeha.

Itu, lihat, lihatlah! Sialan. Jeha tidak bisa menahan dorongan untuk kesal dan melampiaskannya dengan menggigit bibir bawahnya. Namun, sepertinya sinyal-sinyal amarah bersinggungan dengan antena milik Hamdan. Satu, Hamdan sedang berpikir. Dua, alisnya melompat, dapat ide Jeha rasa. Tiga!

"Kita cari es krim vanila."

Tuh, kan! Hamdan selalu bisa mendobrak pintu keresahan istrinya. Selepas ini, mungkin mereka akan berbincang sambil mengomentari orang-orang yang lewat secara acak, atau memberi makan burung dara yang mampir di dekat mereka duduk bersisian, atau bisa juga beli balon bening berlampu-lampu yang dalamnya berisi balon lagi. Permintaan "anak-anak"-nya Jeha. Konon, harus dipenuhi oleh Hamdan jika dia tidak ingin tidur di luar.

"Hamdan?"

Jeha tidak pernah memotong nama itu. Dia selalu memanggilnya dengan lengkap, pembeda katanya. Lagi pun suka-suka dia dong! Dia kan istri Hamdan. Memangnya kenapa kalau tidak memanggilnya seperti orang lain yang cuma "Dan" atau "Ham"? Tiba-tiba, es krim yang ada di hadapan Jeha seperti meledek suasana hatinya.

"Kenapa, Sayang?"

Mereka sedang duduk bersisian sambil memandang para penjual makanan gerobak yang berjejer di pinggir jalan. Ada kios yang ramai, ada juga yang tidak didatangi sama sekali sejak mereka ke mari. Jeha menoleh sepenuhnya pada Hamdan.

"Nanti, kamu harus temenin aku lanjutin yang kemarin."

Meskipun dia sendiri yang suka menunda-nunda, Jeha menuntut suaminya. Mendengar hal itu, Hamdan hanya mengangguk.

"Bagus." Jeha menyendok es krim dan menyuapi Hamdan.

"Kamu mau ... datang bulan?" tanya Hamdan. Dia nampak berhati-hati memilah kalimat yang akan keluar dari mulut.

"Kayaknya iya, deh. Perut aku kram dari rumah tadi."

"Mau pulang sekarang?" Hamdan buru-buru menghabiskan es krimnya.

"Enggak, ih! Baru juga sebentar. Oh, iya, nanti kan ada pasar malam di sana." Telunjuk Jeha mengarah ke pucuk kincir angin yang lumayan jauh tertutup pohon-pohon. Hamdan bingung. Ajaib sekali! Dia rasa tadi tidak ada benda begituan di sana. Siapa yang tiba-tiba taruh keranjang yang bisa muat manusia itu di sana? Jin kah?

"Aku dapat info dari temen, sebenernya tadi malam pembukaannya." Jeha menggigiti sendok es krim. Matanya berbinar, terlihat sangat antusias dengan gagasan yang dia berikan.

"Katanya mau nyelesaiin outline."

Skakmat! Jeha sudah tidak bisa berbicara. Es krim di hadapannya masih setengah, tapi nafsu makannya sudah habis.

"Buatku aja." Hamdan mengambil es krimnya. "Minggu depan, deh, kita ke sananya. Ntar malam, coba selesaiin apa yang kamu mulai. Kemumpung waktunya masih banyak."

Jeha mengangguk mengiakan meski sedikit enggan. Kalau hatinya bisa menggeleng, organ itu akan menggeleng. Mereka lanjut jalan, berkeliling sebentar. Jeha bilang, dia ingin beli balon yang isinya balon lagi, berlampu-lampu katanya.

"Itu adanya cuma malam, Sayang." Kecewalah Jeha. Sebagai bujukan atau sogokan buatnya, Hamdan membelikan telur gulung. Agak lama mengantri, Jeha minta dibelikan air putih, Hamdan bergegas sementara telurnya dimasak.

"Kok lama, ya?"

Jeha bermaksud menyusul Hamdan. Beberapa kios sudah lewat, tapi batang hidung suaminya tak nampak pula. Ke sana dan ke mari matanya menjelajah tetap tak ketemu jua. Ke mana? Belinya di Arab kah? Kalau Hamdan datang, ingatkan Jeha buat menginjak kaki suaminya itu.

Akhirnya, setelah jalan sedikit kesal sambil menghentak-hentak seperti anggota pengibar bendera, Jeha bertemu dengan Hamdan. Suaminya terlihat sedang mengelus-elus kepala kucing. Pemandangan itu membuat hati Jeha menjadi lunak.

"Hamdan?"

"Iya, Sayang?" Hamdan hafal suara istrinya. Dia menjawab tanpa berbalik.

"Ayo pulang."

***

"Lanjutin rangkaian yang kemarin kamu buat atau penokohan?" Hamdan mengusap keningnya.

Suara di masjid masih terdengar, orang-orang baru sampai rumah setelah sebelumnya pergi ke masjid terdekat. Mereka sedang nongkrong di meja makan. Entah kenapa dapur menjadi tempat kesukaan mereka, keduanya berpikiran kalau mau apa-apa, dapur menyediakan semua. Minum, ada. Makan, apalagi. Kudapan malam, camilan siang, minuman soda, susu, dan lain-lain.

"Penokohan aja. Penokohan seru. Lagian juga kepalaku udah pusing banget, ada yang perlu dikeluarin." Jeha memegang kepalanya.

"Oke, masih mau pakai template anak-anak yang tadi?" Baru saja seteguk teh hangat milik Hamdan menyapa lidahnya, dia tersedak.

"Inspirasi!" Bentakan serta gebrakan di meja betul-betul mengejutkan Hamdan.

Hamdan segera mengelap lantai serta meja makan yang basah.

"Maaf, maaf. Oke, inspirasi. Oke."

Garukan kepala Hamdan betul-betul kentara kalau dia sangat bingung. Salah apa dia? pikirnya. Apakah ... oh, mungkin saja Jeha kira template sama dengan plagiat. Dituduh melakukan plagiasi adalah hal sensitif bagi sesedikit penulis. Jika ada bukti, iya, tidak apa-apa. Jika tidak? Fitnah itu namanya. Beberapa tingkat lebih kejam di atas pembunuhan. Jadi, menuduh seorang penulis melakukan plagiat adalah tindakan kriminal yang patut dipertimbangkan di mata hukum. Menurut Jeha, mungkin seperti itu.

Hamdan cuma mengangguk dan mencoba maklum dengan sikap yang Jeha pilih. Walaupun menggebrak meja itu rasa-rasanya agak sedikit berlebihan.

"Aw!" Jeha memegang perutnya.

"Kenapa?" Hamdan segera memapah istrinya menuju kamar mandi setelah Jeha meminta begitu dan mengerang sekali lagi.

"Sayang?" Selama Jeha belum keluar, Hamdan harus pastikan kalau istrinya baik-baik saja. Dia setia menunggu di depan kamar mandinya sambil bersandar pada dinding.

"Hamdan," panggil Jeha.

"Iya, Sayang?"

"Ambilkan pembalut."

Pantas saja seharian ini suasana hati Jeha seperti meletup-letup. Setelah mengusap dahi dan menggeleng-geleng, Hamdan mengambil barang yang dimaksud Jeha di kamar mereka. Selepas itu dia kembali ke depan pintu kamar mandi dan mengetuknya.

"Ini."

Ponsel Hamdan yang terletak di meja makan tiba-tiba berdering. Jeha baru saja selesai dengan urusannya dan melihat Hamdan tengah berbincang di telepon. Tak lama, Hamdan mengakhiri panggilan itu.

"Ada masalah di studio, aku harus ke sana."

"Bukannya libur?"

"Memang, tapi Rian mau ngerjain sesuatu, jadi dia di sana. Terus, katanya ada orang marah-marah dan komplain."

"Jam segini?" Jeha menunjuk pukul setengah delapan.

Hamdan mengangguk dan segera ke kamar. Setelah berganti pakaian dia pamitan dan mengecup beberapa bagian wajah istrinya.

"Aku berangkat."

"Hati-hati."

Jika saja Jeha tahu kalau mengizinkan suaminya keluar sekarang adalah hal yang mungkin dia sesali nanti.

Biniku Kang Nulis[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang