12. Jeha

35 11 13
                                    

Aku kasih peringatan di awal. Bab ini adalah bab yang, aduh banget. Ambil yang baik dan buang yang buruk. Inget, apa pun yang ada di sini, jangan sampai memengaruhimu. Selamat membaca!

***

Jeha tidak tahu kalau rumahnya tengah menjadi sorotan media karena kebakaran. Dia juga tidak tahu kalau Hamdan sempat mengira dirinya sudah meninggal. Dia hanya tahu satu hal, harus punya cara agar keluar dari tempat terkutuk ini.

Sudah berapa lama dia di sini, Jeha tidak ingat. Bagaimana bisa menebak waktu kalau sinar matahari pun tak pernah menyentuh tempat ini? Tak ada jendela. Hanya ruangan yang tak ada isinya selain kursi dan tali dan Jeha yang terduduk sambil terikat serta menangis. Gelap pula. Semakin menambah penderitaan saja.

Kaki terikat, tangan terjerat. Jeha tidak bisa bergerak pun berteriak. Mulutnya disumbat dengan kain. Hatinya terus-terusan berdoa semoga Hamdan bisa menolongnya. Memang manjur? Ah, manjur atau tidaknya mana kepikiran! Paling penting sekarang hanyalah berharap pada kemungkinan apa pun.

Dulu, Jeha ingin sekali punya perpustakaan pribadi yang di mana dia bisa bebas berkeliling di sana. Membaca buku atau hanya sekadar lihat-lihat judul. Semenjak menikah dengan Hamdan, Jeha yakin keinginannya itu akan terwujud. Apalagi Hamdan yang berangsur-angsur menemaninya beli buku. Fiksi ataupun non-fiksi, Jeha lahap.

Sekarang buku-buku di rumahnya masih sedikit, Hamdan harus membelikan dia buku lagi. Kalau dia di sini, siapa yang akan dibelikan oleh Hamdan. Suaminya begitu sayang dengannya. Jeha harus keluar dari sini. Hamdan sayang dia. Betul. Digesek-gesekannya tali ke kursi, panas mulai terasa di pergelangan tangan akibat terkena beberapa kali gesekan itu.

Sebentar. Benarkah? Benarkah Hamdan sayang dia? Keraguan hinggap di dalam dadanya. Dia betul-betul ragu akan perasaan Hamdan. Bahkan, jika bukan wanita, dia tak akan pernah peka terhadap sesuatu yang terjadi antara Hamdan dengan mantannya belakangan. Jeha menggeleng. Tidak. Dia tidak boleh berprasangka buruk. Kini dia harus membebaskan diri.

Jeha teringat dengan salah satu buku yang dia baca. Walaupun sudah membaca banyak buku—amat banyak, malah—dia sama sekali tidak lupa momen-momen penting atau garis besar cerita yang menurutnya asik. Salah satu buku itu punya adegan di mana sang tokoh utama juga diculik dan dia harus bebas dalam waktu beberapa jam. Tokoh utama juga melakukan cara yang sama sepertu yang dia lakukan. Bedanya, yang Jeha ingat itu fiksi, sementara yang sekarang betul-betul terjadi.

Kembali melanjutkan gesekan tali ke kursi. Dia harus keluar, Jeha harus keluar. Dia sudah rindu dengan suaminya. Sangat. Dopamin begitu deras membanjiri otaknya, berlomba dengan adrenalin. Sampai tali putus dan membebaskan tangannya pun tatapannya masih berbinar. Dia melepas kain yang menutup akses suaranya.

"Bebas, bebas. Aku bakalan bebas." Dia menguraikan tali yang juga melilit di kaki.

"Bebas, bebas. Aku bakalan bebas."

Jeha mulai meracau. Dia mendengar suara langkah dan segera tertarik kembali ke dalam alam sadar. Tangannya lecet di seluruh pergelangan, sementara mulutnya tidak berhenti senyum. Namun, di antara seluruh kebahagiaan itu, yang membuatnya panik adalah, pintu berbunyi. Suara klik terdengar dan segeralah terlihat penampakan dunia luar yang begitu menyilaukan matanya.

Dua bayangan jatuh menghalangi pandangannya dari cahaya. Jeha mendongak dan langsung kaget karena dua bayangan itu menuju ke arahnya.

"Mau kabur dia!"

Tangan Jeha ditahan. Kiri dan kanan. Jeha ingin berteriak, tetapi mulutnya sudah disumbat lagi. Dia mencoba menendang salah satu selangkangan yang menahannya. Wajah mereka asing. Jeha segera menggeleng untuk mengusir hal yang tidak perlu, sekarang dia hanya harus fokus untuk melarikan diri. Namun, sepertinya usaha dia tadi sia-sia. Salah satu dari mereka menyemprotkan sesuatu dan kembali membutakan pandangan Jeha.

Jeha pingsan lagi.

***

" ... kita ini maling, bukan penculik!"

"Aku juga nggak mau nyulik, tapi dia bisa jadi saksi."

"Ya, kerjaanmu nggak rapi, goblok."

Jeha mengangkat kepalanya. Dua orang yang sedang berbincang tadi langsung menoleh sepenuhnya padanya. Jeha menahan air mata agar tidak tumpah lagi. Saat ini, sekujur tubuhnya terasa nyeri sebab melakukan perlawanan yang tak ada hasilnya. Dia tak tahu sudah seperti apa bentukan wujudnya sekarang, yang ada di pikiran Jeha hanyalah kebebasan dan Hamdan.

"Kalau diperhatikan manis juga." Kedua orang itu saling memandang dan tersenyum ganjil. Mau apa lagi mereka?

Salah satu dari mereka mengelus pipi Jeha. Seluruh tubuhnya menegang dan ingin berontak. Namun, ternyata dia diikat lagi, kali ini lebih kencang. Dia mencoba berteriak dan tentu saja tertahan. Tak peduli, Jeha tak peduli. Dipaksanya semua anggota badan untuk bergerak melonggarkan ikatan, tetapi yang ada malah tenaganya terkuras.

"Pake?" ujar yang mengelus pipinya tadi.

"Kau aja. Aku mau nyari angin," jawab yang satunya lagi. Setelah berkata demikian, orang itu menyalakan lampu dan nampaklah wajah kedua orang tadi dengan lebih jelas. Lelaki. Satunya tidak lebih tinggi dari yang lain. Lelaki yang tinggi melangkah keluar ruangan dan menutup pintu.

Jeha bersumpah akan menyuruh Hamdan untuk memampuskan mereka semua. Napasnya terasa berat sekarang. Kapan Hamdan datang? Kenapa lama sekali? Apakah dia betul-betul tak sayang Jeha setelah kebersamaan mereka setahun belakangan?

"Di sini cuma kita berdua."

Kengerian menjalar mencekik leher Jeha. Dia menggeleng. Air mulai merambah pipinya lagi. Di depannya, orang asing itu mulai menanggalkan baju. Jeha menggeleng. Jangan! Lelaki itu maju perlahan dan membelai lehernya.

Napas Jeha mulai tidak beraturan lagi. Cuma Hamdan yang boleh pegang-pegang dia.

"Di sini cuma ada kita, sayang. Gak ada siapa-siapa. Tempat asalmu juga jauh." Orang itu mengoceh sambil membelai tangannya.

"Di sana?" Dia menunjuk salah satu arah. "Eh, bukan. Di sana?" Dia menunjuk ke arah lain.

"Bukan juga. Aku nggak peduli."

Orang itu maju dan mencengkeram kepala Jeha. Sekuat tenaga dia berusaha lepas, lebih kuat lagi kepalanya diremas. Tangan si jahanam mulai turun dan masuk ke dalam pakaian Jeha, mengelus-elus perutnya. Sentuhan kasar yang tidak mengenakkan langsung menyambar kulitnya. Anjing. Anjing. Anjing. Anjing. Anjing. Anjing. Anjing. Cuma Hamdan yang boleh menyentuhnya.

Tangan si jahanam mulai meliar. Melingkari pundaknya dan menjamah punggungnya. Jeha terus-terusan berontak menolak dan menggeleng. Tidak. Dia amat sangat memohon untuk tidak dilanjutkan. Namun, rupanya orang itu menjadi-jadi, dia naik dan duduk di pangkuan Jeha.

Dada Jeha terasa sesak. Pergerakannya semakin terbatas. Isakan mulai tertahan di tenggorokan. Tubuhnya kini seakan membeku tiba-tiba. Panik. Jeha panik. Kenapa tubuhnya seakan disihir? Sementara dia putus asa, tangan si jahanam semakin menjamah masuk ke dalam pakaian, melepas sebuah tali, lalu memaksa memutar melewati bagian bawah ketiak dan meremas sesuatu yang ada di depannya.

Anjing bersetubuh. Saking biadabnya, Jeha tidak menemukan umpatan yang pas. Orang itu kini semakin ganas meremas miliknya. Anjing, babi, jahanam, iblis, kunir asem, bangsat, ngentot, sialan, jancok, kepala mayat kucing. Jeha menyundul kepala si jahanam kuat sekali. Lelaki itu mundur dan terkejut.

Darah mengalir deras dari hidung lelaki itu. Jeha tidak menyangka. Seulas senyum tipis terbit di wajah Jeha.

"Rasain itu, anjing busuk! Ibumu bakal menyesal ngelahirin anjing sepertimu." Jeha tak tahu kapan kain yang memenjarakan mulutnya itu terlepas, tetapi selama dia bisa mengumpat, dia merasa lebih kuat.

"Bangsat. Kau yang bakalan nyesel."

Si jahanam membuka celana.

***

Aslinya, aku gak kuat nulis bab ini. Gimana enggak, begitu astaga sekali. Ckckck. Jangan lupa vote dan komen dan syer. Sampai jumpa lagi!

Biniku Kang Nulis[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang