6. Hamdan

43 11 23
                                    

Saat ini aku sedang di jalan, menunggu lampu berganti warna jadi hijau, di belakang truk yang bertuliskan "Papah tak pulang, Mamah rindu di goyang" lengkap dengan gambar tidak senonoh yang sangat besar. Aku terpaku pada tulisan "di goyang". Kalau Jeha lihat ini, dia pasti sudah pepet si supir dan menghentikan truk dan menceramahi si supir dengan kitab EYD miliknya dan menjelaskan kalau di itu digabung dengan kata kerja. Jadi "digoyang", bukan "di goyang".

Omong-omong soal Jeha, istriku ternyata sedang terkena bulan merah. Pantas saja gelagatnya cukup fantastis seharian ini. Bahkan, tak heran semisal dia tiba-tiba menelepon dan suruh aku pulang sekarang. Aku berdecak. Mestinya aku ingat di tanggal segini. Tak apa, yang penting selesaikan urusan dulu.

Rian, karyawanku, menelepon saat aku menunggui Jeha di depan kamar mandi. Aku awalnya heran kenapa dia bisa ada di tempat kerja malam-malam begini, ternyata ada proyek kepepet dengan deadline yang setelah diingat-ingat lagi jatuh pada hari esok. Namun, di tengah pengerjaannya, pintu diketuk dan ada embak-embak yang tiba-tiba datang langsung memarahinya. Menuduh plagiat perusahan lain segala. Duh, kalau begini, sulit sekali.

Sampai di sana aku langsung turun dari motor. Ada sedan merah yang seperti tak asing terparkir di depan studio kecilku. Aku buru-buru masuk tanpa ketok pintu dulu. Suara mengoceh segera terhenti, mungkin karena mendengar pintu dibuka. Aku melangkah menuju sekat tempat kerja Rian dan segera saja diriku terkena serangan jantung.




Lalu aku mati.





Tidak. Aku bohong. Tidak sepenuhnya bohong sebab aku memang hampir terkena serangan jantung. Di hadapanku bukan cuma ada Rian dengan wajah bloon yang menghadap komputernya miliknya, melainkan seseorang juga tengah berdiri. Wajahnya masih berapi-api, bukan karena marah, lebih ke terkejut mendapati aku di sini.

"Itu bos saya, mbak," ujar Rian.

"Kana–"

"Hamdan."

Kanara. Bahkan hanya dengan melafal namanya pun aku begitu kesulitan. Sesulit perjuanganku melupakannya, sesulit pendakianku menuju puncak keikhlasan akan hubungan kami yang dia kandaskan begitu saja. Kalau diumpamakan merakit sebuah lego untuk jadi bentuk yang utuh, tiba tiba ada bola raksasa jatuh mengancurkan lego itu. Aku tak bohong meskipun terkesan berlebihan.

Lututku lemas. Keheningan diisi dengan pikiran masing masing, seperti halnya aku. Aku langsung diserang bayangan-bayangan. Sedih, senang, sakit, gembira, menangis, tertawa. Tahi anjing. Bahkan di malam dia memutuskan hubungan kami, tergambar jelas di kepalaku, bagai film yang diputar oleh layar raksasa.

"Kamu yang punya studionya?" Ada getaran yang hampir tidak tertangkap saat dia bicara. Hampir, sebab aku paham betul dia siapa.

"Iya," akuku. Berusaha terlihat baik-baik saja. Semoga getar di lututku tidak terlalu kentara. "Boleh aku tau masalahnya apa aja? Pakai kepala dingin."

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini perkara bagus atau pertanda aku semakin pupus?

***

Kanara menjelaskan situasinya. Sebelumnya, dia sudah meminta maaf kepada Rian, kepadaku juga. Aku hanya mengangguk saja dan minta cepat-cepat selesaikan urusan ini. Namun, bukannya terkesan sangat rentan jika aku berlaku begitu? Baiklah, aku akan mencoba santai saja.

Kanara punya sebuah butik, kecil-kecilan dia bilang, dihibahkan oleh seseorang. Aku menahan mulutku untuk tidak bertanya sembarangan. Butik itu perlu logo baru sebab pindah kepemilikan, dengan dia yang jadi pemilik barunya. Kemarin lalu, anak buahnya ke mari meminta dibuatkan desain logo untuk butik itu. Rian yang buat.

Permasalahan ada di sini, ternyata logo yang Rian buat hampir mirip dengan salah satu perusahaan serupa, yang beroperasi di bidang tekstil juga. Kanara membawa cetakan logonya, kedua logo yang berjejer masing-masing warnanya serupa. Aku menoleh dan bertanya kepada Rian.

"Bos, aku bahkan baru tau ada perusahaan ini, namanya juga hampir sama. Bos juga biasanya ngawasin aku sama yang lain pas bikin logo," tutur Rian.

Aku paham itu. Tak ada sebuah bentuk yang betul-betul baru di dunia ini. Tidak sepenuhnya. Akan selalu ada kemiripan walau sekitar beberapa persen saja. Kuteliti lebih lanjut logo milik Kanara dan logo di sebelahnya. Gambar simpel wajah dan ornamen seperti kain yang merangkap jadi tangan. Persis.

"Gini, aku bukan ngebela karyawanku, tapi kami selalu brainstorming dengan cara masing-masing. Walaupun hasilnya hampir tujuh puluh persen begini, Rian nggak plagiat."

Aku benar. Ada lumayan banyak perbedaan. Namun, sepertinya ini tidak mudah. Langsung saja kusuruh Rian merevisi desain itu. Aku juga turut andil setelah menyuruh Kanara duduk dulu. Kami saling koreksi. Kalau masih dirasa mirip juga, akan kubuat ulang sendiri.

"Masalahnya bukan ininya, tapi pihak perusahaan itu yang ngancem bakal nuntut. Pihak mereka yang berusaha perpanjangin masalah ini, terus kasih tawaran pilih ganti rugi atau enggak."

Penjelasan Kanara-lah yang membuatku turun tangan. Orang yang ribet, perusahaan terduga, maksudku. Jika ada yang mudah, kenapa pula perlu diperpanjang segala. Namun, beda halnya kalau ....

"Kalian dapat produksi kain dari mana?" tanyaku sambil menggeleng saat Rian menunjukkan kode warna.

"Pemasok random. Karena beberapa bulan lalu, yang lama dan udah jadi langganan, pabriknya kebakaran."

Klik.

"Gimana kalau tawarin kerjasama dengan yang nuduh kamu plagiat ini."

"Ih, Hamdan! Kamu! Makasih banget! Kenapa gak kepikiran, Hamdan!"

Kanara memukul-mukul meja. Aku sempat refleks memutar kepala agar tidak melihatnya. Lalu dia segera mengambil ponsel dan menelepon seseorang. Setelah selesai, dia berbalik padaku.

"Makasih banget! Aku minta maaf ngerepotin kalian begini. Udah pada makan?"

Kenapa Kanara jadi sok asik begini?

Nah, aku salah.

Sedari dulu, dia memang asik.

Biniku Kang Nulis[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang