Epilog

60 9 7
                                    

Jeha sedang memperhatikan seorang anak yang bermain pasir di depan warung kopi miliknya. Gigi ompong di tengah, rambut berantakan ke mana-mana, tetapi tawanya berhasil mewarnai hidup Jeha yang penuh kelabu. Dia meneruskan pekerjaan yang sempat dia hentikan, yaitu mengaduk kopi. Denting sendok yang beradu dengan gelas kaca akhirnya berhenti. Jeha menyimpan gelas itu di atas piring kecil, lalu berjalan mengantarkan kopi hitam yang dibuatnya barusan kepada pelanggan.

Saat ini, Jeha punya sebuah warung kecil di pinggir jalan, di sebuah gang yang lumayan ramai. Selain kopi, dia menjual beberapa makanan dan minuman, untuk tua maupun muda. Ada rencana untuk diperbesar lagi warungnya. Dia menghela napas. Pelan-pelan, tetapi pasti.

Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kalau dipikir lagi, sekarang kehidupan Jeha berangsur membaik. Jika mengingat masa itu, Jeha tergelitik dan tertawa sendiri. Memungut anak dan ikut seorang gembel. Memulung. Mengumpulkan modal. Berjualan minuman keliling. Sampai punya sebuah warung kecil begini. Betapa sulitnya masa itu.

Jeha menggeleng. Sekarang dia adalah orang yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin dari penampilan, dia seakan turun dari tempatnya dulu. Namun, dari kualitas hidupnya, dia merasa lebih baik daripada yang lalu. Semua beban seakan lenyap tak bersisa. Apalagi saat melihat anaknya tertawa dengan gigi ompong yang seakan menyapa dunia, seperti sekarang.

"Nak, mandi. Ini udah hampir magrib."

Mentari beranjak juga saat kopi milik pelanggan terakhir habis. Jeha ingin menutup warungnya. Tiap-tiap petang lewat, dia tak pernah membuka warungnya lagi. Kegiatan kosongnya diisi dengan mengajak sang anak bermain di atas kertas. Pensil dan buku yang harus selalu ada, anaknya sangat senang menulis huruf acak serta menggambar. Lalu dia sendiri sibuk mengecek beranda media sosialnya, sesekali ikut nimbrung di sebuah grup kepenulisan yang isinya emak-emak semua, atau ikut-ikut acara membuat tulisan pendek, atau lain-lain yang bisa dia lakukan untuk menuntaskan hasrat ingin menulisnya.

Ketika sudah berkali-kali dipanggil dan si kecil tak kunjung datang juga, Jeha akan menjemputnya sendiri. Diselesaikannya dulu kegiatan menutup warung. Setelah itu Jeha segera mendatangi anaknya yang ternyata sekarang sedang mendongak melihat seseorang. Di samping anak itu mainan robot warna hijau tergeletak.

"Hai!"

Jeha segera mengambil air sebaskom lengkap dengan gayung dan bersiap untuk menyiram orang itu.

"Kalem, kalem! Aku cuma pengin roti sama kopi. Bentar doang. Aku punya uang, aku punya uang."

"Kemarin dan kemarinnya lagi, kau juga bilang begitu, gembel."

Jeha menarik anaknya ke dalam pelukan. Lalu dia berbalik badan dan membanting pintu, meninggalkan seorang lelaki berbaju compang-camping dan rambut sebahu yang kini bahunya melemas. Tanpa sepatah kata pun Jeha langsung masuk rumah? Sia-sia belaka si lelaki menjual berkarung-karung sampah dari pagi sampai petang ini.

***

Biniku Kang Nulis[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang