10. Hamdan

26 8 2
                                    

Beberapa hari hanya diam di rumah sambil sesekali mengupil atau menggaruk pantat, aku akhirnya bosan juga. Puluhan film kartun kesukaan Jeha kami tonton, seakan menjadi kegiatan rutin yang harus dilakukan tiap waktu belakangan ini. Haidnya sudah selesai. Dia sudah stabil dan tidak seperti kesurupan barongsai lagi.

Aku sudah sembuh, walaupun diajak lompat-lompat kakiku bakalan menjerit, tapi aku oke-oke saja. Orang rumah sakit bilang, tulang kakiku retak dan aku tidak bisa main sepak bola dalam beberapa minggu. Sok akrab dan sok tahu betul itu dokter, lagipula aku tidak pernah sekalipun main sepak bola lagi semenjak menikah.

Motorku juga sudah sembuh, Kanara yang rawat. Beberapa hari sekali dia datang buat jenguk aku. Jeha tetap menatapnya sambil mengeluarkan taring dan tanduk, bersiap menerkam Kanara kalau-kalau dia berada dalam radius satu meter di dekatku. Posesif betul istriku ini.

Hari ini, setelah kunjungannya yang ke sekian, Kanara pamit. Aku melihat jam, sudah siang sangat. Di luar pasti terik akan menyengat siapa saja yang tak punya rambut. Tak ada tanda-tanda angin datang, tidak dari arah mana pun. Seolah-olah daerah tempatku tinggal dibungkus kubah transparan besar dan dipanaskan dari luar.

Jeha sibuk dengan buku catatan dan juga laptop, aku dia abaikan. Namun, begitu kakiku menginjak lantai dan pantatku terangkat dari sofa, Jeha langsung melotot sampai-sampai sempat kukira matanya akan keluar dari rongganya.

"Kalau mau apa-apa, bilang!" sergahnya.

Aku cuma mengangguk. Kutatap wajah letih istriku yang masih setia menghadap laptop. Beberapa hari ini Jeha memaksa untuk mengurusku, tunjukin bakti sebagai istri, katanya. Padahal, dia cuma ingin memberi penegasan kalau dia adalah pemenang, apalagi saat Kanara datang ke sini.

Aku bilang kalau ingin meminta minum. Jeha mengiakan dan menarik napas. Dia hela napas begitu semakin menunjukkan kalau memang kelelahan. Aku hendak merepetnya dan bilang tak usah, tapi itu juga sudah kulakukan tadi, kemarin, bahkan kemarinnya lagi. Namun, tak satu pun yang dia turuti.

Jeha berjalan kepadaku yang masih menunggu di ruang tamu. Namun, tinggal beberapa langkah lagi, istriku itu oleng. Instingku menyuruh untuk segera berdiri dan menopangnya. Aku refleks. Karena diajak bergerak tiba-tiba, kakiku langsung meraung dan menyebabkan sakit terasa sekali. Gelas berisi air segelas di tangannya itu tumpah dan membasahi lantai tempat kami berpijak.

Jeha lemas, aku belum kuat berdiri, lantai licin. Bagus. Sama-sama menjaga keseimbangan, kami berusaha tetap tegak. Walaupun akhirnya tiga detik kemudian kami sama-sama terjatuh. Sikut jeha menusuk rusukku. Aku ingin mengumpat sejadi-jadinya tapi buru-buru kena cium.

Setelah adegan tidak terlalu ramah itu terjadi, sakit menyengat kakiku lagi. Anjing!

***

Ada dua hal yang tidak bisa diprediksi dengan tepat: masa depan dan Jeha. Istriku itu jatuh sakit. Aku memapahnya sambil terkedek-kedek ke dalam kamar. Setelah mengatur bantal, aku membaringkannya, lalu membalutkan selimut. Mata Jeha yang senantiasa berbinar saat menatap apa saja, sekarang meredup. Binarnya tak lagi hangat. Sendu. Bagaikan ... ah, anjir! Kenapa pula aku jadi puitis begini?

Aku mengelus dahinya. Biasanya, kalau Jeha susah tidur atau terbangun karena mimpi buruk, dia selalu minta aku begitu. Dia kemudian meracau soal jangan ke mana-mana dulu, lalu detik berikutnya menyuruhku untuk beli boba. Bagaimana aku bisa tetap di sini sementara disuruh mencari boba adalah hal yang betul-betul kupikirkan. Sempat ingin menghubungi orang dan suruh antar ke mari, tapi Jeha bilang ingin aku saja yang beli.

Dia kira aku punya kloning atau jurus bayangan, rupanya.

"Kamu demam, Sayang." Aku memeriksa suhu tubuhnya. "Begini-begini malah mau minum es."

Jeha membuka matanya, kelihatan susah dan berat.

"Ya udah, bobanya nggak usah pakai es."

Aku cuma menggeleng dan menyuruhnya tidur. Selama ini, Jeha belum pernah sakit. Aku agak bingung dan kelimpungan. Beruntung dia cuma terkena demam ringan. Badannya pasti kelelahan mengurusku, sekarang sudah semestinya kami bergiliran.

Setelah Jeha betulan tidur, aku pelan-pelan keluar kamar. Mencari kotak obat, mengambil minum, lalu meletakannya di atas meja rias. Masih terpincang-pincang, kubuat sup krim untuknya. Setelah semua selesai, aku kembali ke ruang tamu. Menelisik kerjaan Jeha.

Konon, ada beberapa pengarang yang proses kreatifnya tidak boleh dilihat siapa pun. Rahasia dapur. Sama seperti studioku. Omong-omong soal studio, bangunan itu awalnya adalah rumah sewa. Hingga aku berinisiatif untuk membelinya dengan cara dicicil. Manalah aku punya duit banyak untuk beli langsung. Sekarang cicilan itu tempat sudah setengah. Ah, pelan-pelan.

Aku ingat kata mendiang ayah, untuk pergi ke atas suatu tempat, kita perlu cari tangga atau pijakan agar bisa sampai ke sana.

Lama-kelamaan pikiranku ngalor-ngidul. Melantur ke memori masa kecil dengan mendiang ayah, pergi ke pertama kali naik mobil, pertama kali akrab dengan Jeha. Kalau dipikir-pikir, kami akurnya gara-gara aku jatuh sakit juga.

Semakin melantur dan melompat-lompat. Baiknya aku ikutan tidur saja, sekalian menunggui kamar kalau Jeha ingin sesuatu secara tiba-tiba. Namun, baru saja sampai setengah jalan, ponselku berdering. Aku mengumpat sebab ponselku dan ponsel Jeha ada di meja di ruang tengah. Aku mengangkat kakiku yang sakit, lalu melompat dengan satu kaki persis seperti orang main engklek/ingkling. Kuangkat telepon dan segera saja kupingku sakit.

"Bang, buruan ke sini! Gawat. Ini yang punya rumah enggak konsisten banget, dia datang sama orang. Sekarang malah ngusir kita dan suruh kita pindah." Rian lagi.

"Kalem, njir. Kalem. Ada apa?"

"Ini rumah mau dijual. Cicilan Abang bakalan dikembaliin, katanya, tapi si anjing tiba-tiba banget."

Ini rumit. Aku bergegas siap-siap. Tak lupa menyimpan ponsel Jeha di dekatnya, menulis surat, lalu mengecup pucuk kepalanya.

Aku ke studio.

Biniku Kang Nulis[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang