1. Hamdan

117 20 31
                                    

Jeha menoleh padaku yang sedang mengaduk gula dalam secangkir teh. Aku mengangkat alis, mengisyaratkan pertanyaan, "Kenapa?"

"Mentok." Jeha menggaruk kepala. Rambut sebahunya acak-acakan sebab itu. Aku tersenyum. Beberapa detik kemudian kami saling diam, hanya ada suara sendok yang beradu dengan gelas kaca di hadapanku.

"Sini, kubantu. Kita mulai dari yang paling sederhana. Ide."

Jeha ingin jadi seorang penulis. Dia sudah dua tahun ini belajar tentang dunia literasi dan antek-anteknya. Baru satu cerita yang dia tamatkan, sekarang ingin membuat judul baru. Namun, istriku itu kebingungan karena cerita pertamanya begitu mengalir lancar tanpa outline(mereka menyebut itu sebagai rancangan cerita).

"Aku udah dapat ide, cuma belum bisa kembangin dan nggak tau gimana caranya. Padahal, ceritaku yang pertama mudah-mudah aja," terangnya. Aku menoel pipi Jeha.

"Itu gara-gara diambil dari pengalaman pribadi, bumbu fiksinya masih dikit. Makanya waktu baca, aku ngerasa baca buku diary."

Jeha mendesah risau. "Terus, gimana dong?" Dia manyun.

"Tulis aja dulu ide dasarnya, mau nyeritain tentang apa di cerita kali ini?" Aku menyesap tehku.

"Dua sahabat yang saling jatuh cinta, nggak mau nyatain perasaan masing-masing karena takut merusak hubungan mereka. Cewek dan cowok."

Oke, mainstream sekali, tapi tidak apa-apa. Kugaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal-gatal amat. Aku ingat pernah membaca satu metode merancang outline cerita fiksi. Iseng, sih, waktu aku main ke perpustakaan kota menemani Jeha mencari referensi.

"Coba tulis satu kalimat yang bisa nyeritain kisah mereka sampai akhir. Harus bisa dirangkum satu kalimat."

Jeha mulai melirik ke atas, menerawang jauh ke alam ide, menggali potensi apa saja yang bersemayam dalam kepala mungilnya. Aku tersenyum. Kalau melihatnya begini, dia jadi lebih cantik dua kali lipat.

Bermenit-menit kemudian, wajah Jeha menjadi cerah seketika. Dapat. Pasti.

"Aku tau!" Dirobeknya kertas yang dicoretnya tadi, dia mulai membubuh tinta di lembar yang baru.

Bunyi goresan demi goresan di buku menemani kami. Kutatap ekspresi senangnya, sangat mendamaikan. Tak seperti teh yang cuma menghangatkan dada, Jeha lebih daripada itu. Dia hangatkan hidupku yang dulunya mirip dinding es tebal. Dan layaknya es pada umumnya, jika kekerasan menghantam dia kokoh, kehangatan menjalar dia meleleh.

Jeha mendongak sambil tersenyum. Bibir mungilnya menipis dan jujur saja ... aku tergoda.

"Udah!" Dia menunjukkan buah pikirannya yang sudah berganti rupa menjadi tulisan indah di kertas.

"Bagus, sekarang buat lebih detail lagi menjadi satu paragraf. Kalimat pertama adalah awal, selanjutnya di tengah berikan konflik, dan di akhirnya adalah penyelesaian sekaligus akhir ceritanya."

Jeha menurut.

Agak lama. Aku tahu itu. Penulis perlu waktu untuk berpikir, perlu waktu untuk membadani ide, perlu waktu untuk mengurainya menjadi kata-kata panjang. Kuminum lagi tehku. Hingga akhirnya, Jeha mendongak lagi. Dia tunjuk-tunjuk kertasnya dengan girang. Iya, tahu, duh! Menggemaskan betul.

"Aku baca sebentar." Kuamati tulisan istriku, begitu bagus, rapi, dan sedap dipandang. Lain halnya dengan goresan dariku, dia punya lebih lembut serupa gelombang air yang tenang sebab serat tangannya halus. Hasil tulisanku seperti ranting pohon purba yang sudah mati. Kaku, acak-acakan, membuat sakit mata siapa pun yang melihat.

"Kita dapat tokoh, halangan, dan penyelesaian dalam satu paragraf," ujarku akhirnya. Kulanjutkan, "Sekarang bikin penokohan singkat."

Kusebut satu per satu, mulai dari nama tokoh hingga ringkasan alur cerita karakternya. Motivasi karakter, tujuan karakter, konflik karakter, serta pencerahan sang bintang utama dalam cerita. Begitu lengkap, tapi singkat. Begitu sedikit, tapi padat. Setengah jam berlalu, aku mulai ngantuk. Kulirik jam dinding, memang sudah waktunya tidur. Aku menepuk puncak kepala istirku dan mengecupnya pelan.

"Dilanjut besok lagi, kubangunin sesudah subuh."

Jeha menggerutu. Ah, kalau sudah muncul yang imut-imut begini, susah buatku menolaknya. Akhirnya, setelah melakukan negosiasi yang tentu saja Jeha lebih dominan, aku mengalah. Kutunggui dia sambil meneguk habis tehku.

"Udah, habis itu apa lagi?" Alisnya terangkat. Dia masih sangat antusias.

"Inget paragraf yang kamu buat barusan? Keseluruhan cerita dalam satu paragraf itu perlu dikembangkan lagi. Sekurang-kurangnya jadi empat paragraf. Jadi poin-poin yang ini," ujarku menunjuk salah satu kalimat. "Dilanjutkan dan dikembangkan lagi, bisa dikasih konflik apa kek, yang penting jadi gemuk dulu."

Jeha menghela napas.

"Aku sangsi bisa selesai malam ini." Tawa tak tertahankan melesak keluar dari mulutku.

"Kan, apa kubilang? Ayo kita tidur dulu. Masih ada langkah-langkah lain, asal tahu aja."

Istriku mengangguk. Proses kreatifnya harus tertunda dan dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Yah, bagaimanapun, kamu tidak akan bisa memaksa berpikir kalau kantuk sudah menempati otakmu, dan pikiranmu memaksa untuk tidur, tidur, tidur, dan tidur.

***

Nah, apa, ya? Hehe. Selamat datang lagi. Aku ngilangnya kelamaan, ya? Maaf.
Sekarang aku bawa cerita ringan. Ini temanya tentang tips menulis. Aslinya, naskah ini cuma cerita mini yang cuma jelasin Metode Snowflake, salah satu metode untuk menulis cerita. Tapi lama-kelamaan jadi kepikiran alur. Ya, udah terobos aja.

Oh, iya, satu lagi. Jangan terlalu berharap banyak, cerita ini cuma ngasih info-info yang sebetulnya kurang berpengaruh dengan alur, karena emang niat awalku bukan bikin cerita, tapi tips nulis.

Selamat membaca!

Biniku Kang Nulis[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang