Sorry telat, tapi selamat baca!
***
Jeha membuka tutup stoples sambil bersenandung. Terputar lagu kesukaan di ponsel yang sudah dia kumpulkan jadi satu daftar dan dia dengarkan lewat earphone nirkabel miliknya. Dia beri nama daftar putar itu Moodbooster. Camilan, musik, apa lagi, ya? Jeha pergi ke ruang tamu menuju sofa. Biar bisa leha-leha, pikirnya. Duduk di kursi makan tidak nyaman kalau dibuat bersantai, akan susah jika sambil memangku bantal.
Jeha menyalakan laptop Hamdan yang sudah dia siapkan sebelum ke dapur tadi. Lalu dia malah melamun. Belum lama Hamdan pergi, Jeha sudah rindu lagi. Mata teduhnya, bibir penuhnya, serta rambut suaminya yang agak acak-acakan dan membuatnya selalu ingin membelainya itu terus-terusan terngiang di kepala Jeha. Meski jari-jari tangan menelusuri papan ketik, mata mengamati hasil pencarian di google, tetapi pikirannya melayang menuju suami.
Hamdan belum makan malam! Astaga. Jeha lupa itu. Eh, benarkah dia lupa? Tadi yang mereka lakukan di dapur apa? Oh, ternyata sudah. Geleng-geleng saja dia. Kenapa dia bisa lupa?
Beberapa daftar pencarian muncul. Jeha menelusuri satu per satu. Dia sedang mencari situs yang terpercaya, yang betul-betul bisa ditiru sesuai gaya proses kreatifnya. Sampailah pada sebuah artikel yang berjudul Mudahnya Membuat Penokohan! Jeha mengarahkan kursor ke sana dan mengkliknya.
Sambil berusaha fokus dan mengiringi lagu yang terdengar, Jeha mengambil buku serta pulpen. Dia memejam dan menarik napas panjang, berusaha mencapai titik konsentrasi. Begitu dirasa masuk dalam mode fokus, Jeha membuka mata dan menghadap buku, mulai mengikuti panduan yang ada di internet.
Pertamanya, Hamdan. Eh, Jeha kaget. Dia masih belum fokus ternyata. Dia menggeleng cepat. Pertamanya adalah menentukan nama tokoh. Jeha berpikir sejenak. Kira-kira nama apa yang cocok dengan tokohnya? Dia membuka tab baru, mengetik sesuatu lalu menekan tombol enter. Agak lama kemudian, akhirnya sebuah nama dapat. Dia tulis dulu di buku lengkap dengan artinya.
Selanjutnya adalah ciri fisik tokoh. Dalam bayangan Jeha, tokoh laki-lakinya punya rambut berantakan, bibir penuh, mata teduh, dan pipi yang agak tembam. Sebentar ... bukannya itu Hamdan? Dia lagi-lagi menggeleng. Kenapa jadi suaminya melulu, sih? Mengembuskan napas kasar, Jeha pergi ke kamar dan langsung menuju lemari baju.
Lemari itu punya tiga pintu, besar, dan dua pintu saling berhubungan. Dua pintunya untuk pakaian-pakaian Jeha dan Hamdan. Satu pintu lagi terbagi jadi dua, atas dan bawah, di tengahnya ada penyekat berbentuk sebuah laci. Dalam laci itulah berbagai dokumen penting mereka tersimpan. Jeha menarik lacinya.
Jeha mencari-cari dokumen Hamdan semasa SMA. Dia angkat amplop dengan map berwarna biru, bukan, ini adalah ijazah SD dia. Dia angkat dokummen dengan warna hijau, bukan, ini adalah ijazah SMP dia. Di mana dokumen Hamdan? Kemudian dia mengambil lagi sebuah map yang dalamnya berisi beberapa lembar kertas dan buku besar. Akhirnya dapat. Ada rapor Hamdan, ijazah sekolahnya, serta buku tahunan SMA. Jeha menyisihkan ijazah dan rapor hamdan. Pandangannya kini fokus menuju buku tahunan milik suaminya.
Dia buka lembaran yang ada di sana satu per satu. Ada foto bersama seluruh anggota kelas. Foto formal maupun gaya bebas. Hamdan sewaktu SMA sangat enerjik. Terlihat dari seluruh ekspresinya yang menunjukkan kegembiraan. Senang, bahagia, atau apa lagi Jeha tidak tahu bagaimana menjelaskan ekspresi Hamdan. Dia bertopang dagu. Hamdan memang punya pesona yang memikat.
Jeha teringat pada pertemuannya pertama kali dengan Hamdan. Waktu itu dia baru masuk kelas satu SMP. Dia masuk ke sekolah yang sama dengan Hamdan, begitupun semasa SMA-nya. Ayahnya dan ayah hamdan adalah sahabat selama sekolah dulu. Saat ingin mengantar Jeha, ayahnya tiba-tiba mendapat telepon dan menitipkan jeha pada ayah Hamdan. Jadilah mereka satu kendaraan menuju sekolah. Lalu Hamdan mengajaknya mengobrol. Sejak dua kalimat meluncur kepada jeha, perasaannya juga meluncur menuju Hamdan.
Jeha menggeleng, kalau begini terus, nanti ceritanya tidak akan selesai-selesai. Melamunkan Hamdan itu candu, bahkan semalaman pun Jeha sanggup. Apalagi memandangi wajah suaminya itu saat sedang tertidur. Duh, jika diteruskan akan menjadi tidak berujung. Jeha membalik lembar lainnya. Berjejer puluhan foto formal dengan kata-kata dan nama di bawahnya. Jeha penasaran, dia mencari-cari nama Hamdan dan segeralah suasana hatinya berubah menjadi sangat sangat sangat sangat sangat buruk.
Tangan Jeha mengepal, bibirnya dia rapatkan, seluruh badannya serasa bergetar. Dia membalik-balik semua halaman dengan tergesa, mencari bukti bahkan harus kembali ke halaman yang sudah dilihatnya tadi.
Alasan hamdan gembira. Jeha melihat Hamdan yang memakai kemeja merah kotak kotak dengan dalaman hitam dan celana kain senada dengan bajunya tertawa sambil menoleh seseorang. Alasan hamdan senang. Jeha melihat Hamdan yang menyemburkan air, latar kolam renang dengan dia yang memakai celana pendek hitam, dan sedang menghadap seseorang. Alasan Hamdan bahagia. Jeha melihat Hamdan memetik gitar menghadap sepenuhnya pada seorang gadis yang juga tertawa.
Jeha menutup buku itu. Bahkan kata-kata yang dibubuhkan Hamdan di sana tidak mau hilang dari kepalanya. Dia melempar buku tahunan Hamdan ke sembarang arah. Kalimat dalam buku tersebut berhasil membuatnya tidak ingin melakukan apa-apa. Juga, masih terngiang-ngiang dan seakan ditulis jelas di kepala Jeha.
"Hidup buat cita-cita, orang tua, sama Kanara."
Sialan, Hamdan. Ingatkan Jeha untuk mengunci pintu agar suaminya tidur di luar malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biniku Kang Nulis[END]
RomansaJeha cuma ingin menulis, memublikasikannya, lalu tertawa ringan dengan komentar para pembaca yang menunjukkan berbagai ekspresi. Namun, kedatangan masa lalu suaminya menjadi distraksi. Bagaimana cara dia mengendalikan pikiran agar tidak terganggu da...