Sesampainya dirumah, sebelum hendak membuka pintu, Kara menyiapkan mental lebih dulu untuk memberitahu kedua orang tuanya jika Ia diterima disalah satu universitas di Bandung.
"Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam." Ada Papa, Mama dan Kevan sedang menonton TV.
"Kar, katanya hari ini pengumuman ya?" Tanya Kevan hati-hati dan Kara hanya menjawab dengan anggukan.
"Kamu masih tetep maksa masuk seni apa ganti jurusan?" Tanya Papa dengan nada suara sudah mulai naik satu oktaf. "Tetep seni."
Papa mengusap wajahnya kasar. "Hasilnya apa?"
"Aku keterima. Disalah satu universitas di Bandung." Jawab Kara hati-hati.
"Yaamp--KAMU KENAPA SIH?! DENGERIN PAPA GITU! KAMU MAU JADI APA KULIAH SENI? TERUS ITU KETERIMA DILUAR KOTA, JAUH DARI ORANG TUA, KAMU MAU JADI APA? KAMU NANTI JADI LIAR!" Emosi Papa mulai tidak terkontrol hingga sudah berpikir yang bukan-bukan jika Kara jauh dari mereka.
"Kenapa sih, Pa?" Tanya Kara dengan suara parau. Papa hanya melihat dengan tatapan tajam. "Kara mau kuliah sesuai minat bakat Kara, Pa!"
"Kamu mau jadi ap--"
"Jadi sesuai apa yang Kara pengen! Gak semua yang kuliah seni punya masa depan yang jelek, Pa! Terus Papa mikir, aku bisa jadi liar dengan kuliah diluar kota? Aku. Bisa. Jaga diri!" Terserah dibilang durhaka, tapi Kara patut membela diri. Kesempatan depan mata, Gak mungkin Kara sia-siakan.
"Pa, udah pa! Biarin Kara kuliah dengan pilihannya." Kevan membela Kara. "OH? Harusnya kamu dukung Papa, kasih tahu adikmu. Sekarang dunia kerja tuh keras, Kar!" Papa masih tidak mau kalah. Mama hanya diam mematung. Dan Kara, hanya menahan agar suara tangisannya tidak terdengar.
Terus saja Papa memarahi Kara dengan bilang kuliah seni gak benar, gak punya masa depan. Hingga Kara lelah, lalu Kara masuk ke kamar tanpa permisi.
Sampai Kara dikamar pun Papa masih mengoceh, memarahi Kara. Kara muak, terbesit pikiran konyol Kara untuk kabur.
Iya, kabur.
Tidak yang benar benar kabur, hanya keluar sampai suasana agak reda. Kara keluar melalui jendela. tidak membawa apa-apa hanya handphone disaku jaketnya.
Kara berjalan luntang-lantung tidak tahu ingin kemana.
Meanwhile..
"Van? panggil Kara, suruh dia makan dulu." Mama menyuruh Kevan memanggil Kara. Kevan menuju kamar Kara dan mengetuk pintu Kara. Tapi tidak ada jawaban. Kevan berpikir mungkin Kara tidur.
1 jam
2 jam
3 jam
Kara belum juga keluar dari kamarnya, tidak biasanya. tidak mungkin Kara menampung air pipis dikamarnya. Kevan penasaran lalu mengambil kunci cadangan dan membuka kamar kara. TA-DA, Kamarnya kosong. "MA! MAMA!"
"Apa sih, Van?"
"Kara, Ma! Kara gak ada dikamarnya!"
"HAH?"
"Kenapa ini?" Tanya Papa. "Kara, gak ada, Pa!"
"Anak itu, paling keluar pergi gak bilang. Biarin aja, nanti juga pulang kalau lapar." Papa masih dengan sikap acuhnya. "PA! Kenapa sih? Sampai kapan mau marahin Kara? Biarin Kara dengan pilihannya. Biarin Kara sukses dengan caranya sendiri!" Kevan membentak Papa atas nama adiknya.
Papa hanya diam.
"Van, telepon semua temen-temen Kara." Ujar Mama.
Back to Kara..
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Hoodie [END]
Teen FictionElzan Farraz Guinandra. Laki-laki yang selalu memakai hoodie, yang sejak pertama kali aku melihatnya sudah berhasil bikin aku jatuh pada pandangan pertama.