Bab 2

2.8K 146 4
                                    

Setelah seharian berurusan dengan alat alat medis di rumah sakit kini Barra sudah berada di depan pintu rumahnya, entah kenapa perasaannya kali ini berkecamuk. Semenjak kejadian tadi pagi ada perasaan aneh yang selalu dia tepis.

Dia gugup, tapi tidak tahu alasannya.

Menghembuskan nafas panjang, dia memencet bel dan beberapa detik pintu terbuka menampilkan seorang wanita dengan dress selutut yang bermotif bunga sakura, rambutnya tergerai dengan hembusan angin luar yang membuat beberapa helai rambutnya berterbangan menerpa wajahnya.

Cantik.

Satu kata yang menggambarkan sosok wanita di hadapan Barra saat ini. Benar, wanita yang seharian ini selalu mengganggu konsentrasi Barra saat bekerja, wanita yang kemarin sudah resmi dia ikat dalam hubungan sakral pernikahan.
walaupun ada keraguan didalam hubungan itu. Siapa lagi jika bukan Aninda Mahira.

Beberapa detik tatapan keduanya terkunci, Barra memandangi setiap inci wajah cantik wanita yang berstatus istrinya itu. Seperti mengagumi karya indah yang telah Tuhan ciptakan. Melihatnya seakan rasa lelah Barra lenyap begitu saja.

Sementara disini lain Anin memandang Barra dengan tatapan aneh, dia bingung apa yang terjadi pada pria yang berstatus suaminya itu?

'Selain menyebalkan, dingin dan tidak memiliki perasaan, dia juga aneh rupanya. Ya Tuhan apa keluargaku sakit mata saat melihatnya.' batin Anin

"Ekhem." deheman Anin yang menarik Barra dari lamunannya.

Memutar bola mata malas, "Sampai kapan kau akan berdiri di depan pintu seperti ini?." tanya Anin.

Barra memalingkan wajahnya lalu berdehem untuk menetralkan kegugupannya. Setelah itu dia masuk lalu melewati Anin begitu saja dan langsung menaiki tangga menuju kamarnya.

Anin membulatkan matanya, "Astaga pria macam apa yang keluargaku pilihkan untukku?." gumamnya tak percaya.

Barra yang sudah berada di kamarnya langsung pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Di bawah guyuran shower dengan satu tangan yang menumpu pada tembok. Dia membiarkan aliran air tersebut berjatuhan membasahi seluruh tubuhnya.

Saat memejamkan matanya, entah mengapa bayangkan wajah Anin selalu melintas dalam benaknya.

"Aaarrggh apa apaan ini, apa yang terjadi sama Lo Bar, oh ayolah kenapa wanita itu selalu mengganggu pikiran gue. Benar benar menyebalkan." Sambil mengacak rambutnya frustasi.

Sedangkan Anin yang sudah duduk di meja makan sedang menunggu kehadiran Barra, dia duduk dengan memainkan sendok di depannya. Anin sebenarnya bisa saja langsung memulai makan malam, tapi karena dia teringat pesan mamanya untuk menjadi istri yang baik jadi untuk menghormati Barra sebagai suaminya diapun rela menunggu kedatangannya.

Anin berdecak, "Apa dia melakukan semedi di kamarnya, kenapa lama sekali."

"Nyonya, apakah saya harus memanggil tuan untuk makan malam?." ucap wanita paruh baya yang bekerja di rumahnya.

"Tidak perlu, aku akan memanggilnya sendiri." melangkahkan kaki menaiki tangga menuju kamar Barra.

Tok tok tok

"Aku sudah menunggumu untuk makan malam, buka pintunya dan turunlah."

Hening

Barra tidak menyahuti ucapan Anin, di luar kamar Anin merasa cemas, bagaimana jika pria tersebut pingsan atau punya riwayat penyakit jantung? walaupun Anin tidak menyukainya, tapi dia tetap suaminya kan? bagaimana jika dia di salahkan karena tidak bisa menjadi istri yang baik sehingga membuat suaminya terkena serangan jantung karena tidak tahan dengan perilakunya. Anin takut orang orang berpikir buruk tentangnya.

Sambil menggigiti kukunya dan berjalan mondar mandir di depan kamar Barra, Aninpun memberanikan diri untuk masuk kedalam.

Menghembuskan nafas panjang, tangannya memegang handle pintu dan melangkah masuk.

Kosong, Kamarnya kosong.

Dimana pria itu? setelah mengamati seluruh sudut ruangan tiba tiba pintu kamar mandi terbuka. Anin menoleh dan melihat Barra keluar dengan memakai bathrobe, rambut basah dan terlihat sangat acak acakan serta sisa air yang terus menetes di wajahnya.

Sesaat Anin menahan nafas melihat pemandangan di depannya itu, entah mengapa dia terlihat sangat gugup padahal dia sering sekali melihat model pria telanjang dada saat melakukan photoshoot.

Sedangkan Barra tidak kalah terkejutnya saat melihat Anin berada di kamarnya, tapi melihat rona merah di pipi Anin membuat Barra menarik ujung bibirnya tipis.

"Apa kau salah masuk kamar Nona Anin?."

"A-aku kesini untuk memanggilmu makan malam, segeralah turun. Akun sudah sangat lapar." Jawabnya ketus untuk menetralkan kegugupannya.

Saat hendak keluar dan melewati Barra, tiba tiba tangannya di cekal. Kini jarak diantara keduanya terlihat sangat dekat. Anin mengakui jika wajah suaminya ini masuk kriterianya tapi tidak dengan sifatnya.

"Mengagumi ku heh?." tanya Barra dengan nada meledek.

Anin langsung tersadar dan menghempaskan tangan Barra untuk mundur beberapa langkah memberi jarak.

"Kepercayaan dirimu pantas mendapatkan penghargaan Tuan Barra." jawab Anin dengan nada ketus.

"Benarkah?." tanyanya dengan menaikkan sebelah alis.

Anin menggeram. "Lagipula untuk apa aku mengagumimu atau tubuh mu itu? aku sudah terbiasa melihat pria yang bahkan bertelanjang dada. Jadi kau tidak ada apa apanya."

Anin tidak sadar ucapannya seakan menimbulkan perasaan membakar di dada Barra. Tanpa sadar tangan Barra mengepal erat, rahangnya mengeras dan tatapan tajam yang dilayangkan membuat Anin merasa kebingungan.

Barra mendekat dan mengikis jarak diantara keduanya, Anin yang melihatnya spontan mundur tadi sebelum itu Barra menahan pinggangnya. Dari jarak sedekat ini Anin bisa menghirup aroma mint dan hembusan nafas Barra yang membuat wajahnya terasa hangat.

Barra menyeringai dan mendekatkan wajahnya lalu berbisik tepat di telinga Anin dengan suara rendahnya. "Jika begitu tidak masalah kalau aku mengganti pakaian di hadapanmu kan?."

Anin membulatkan matanya dan menatap tajam Barra. "Lepaskan aku! selain menyebalkan kau juga mesum ya? Lepas! lepas!."

Anin terus memberontak hingga Barra mencengkram kuat pinggangnya dan membuat badannya sepenuhnya menempel pada Barra. Tidak ada celah lagi di antara keduanya, bahkan Anin dapat mendengar detak jantung Barra yang berdetak kencang.

"Kenapa? bukankah kau sudah terbiasa melihat pria bertelanjang dada kan? jadi tidak masalah jika aku memperlihatkan tubuhku ini padamu kan? istriku?." ucap Barra dengan menekan kalimat 'istri'

"Satu tahun. Hanya satu tahun maka panggilan istri itu tidak akan berguna lagi untukku."

"Jadi sebelum satu tahun itu berakhir bagaimana jika kita bersenang-senang sebentar saja hm?." ucap Barra

Anin merasa sangat geram, pria di hadapannya ini berubah 180° dari awal pertama mereka bertransaksi. Bagaimana bisa pria berwajah datar bisa memperlihatkan wajah menjengkelkan seperti itu.

Dengan sudut bibir yang terangkat Anin mendekatkan wajahnya, Barra memegang saat melihat jarak diantara keduanya semakin terkikis. Melihat itu tanpa aba aba Anin langsung menginjak kaki Barra dengan sangat keras hingga membuat cengkraman di pinggangnya terlepas dan langsung melarikan diri keluar dari kamar tersebut dengan membiarkan Barra mengumpat dalam hati sambil meringis.

'Aku tidak tahu dia punya sifat liar seperti itu.' gumamnya.



COMPLICATED LOVE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang