Bab 10

2.2K 114 5
                                    

"Dok, ada pasien korban tabrak lari. Dan kondisinya sangat kritis." Ucap seorang suster dengan wajah khawatirnya.

Tanpa mengatakan apapun, Barra langsung bergegas keluar ruangan untuk menemui pasien tersebut.

Sebelum melihat wajah sang pasien, Barra menyuruh agar pasien tersebut di pindahkan ke ruangan ICU untuk penanganan lebih lanjut.

Saat sudah sampai di ruangan yang bernuansa putih dengan berbagai macam alat medis di dalamnya, jantung Barra berdegup kencang, nafasnya tercekat hingga rongga dadanya terasa sesak saat melihat pasien di hadapannya dengan separuh wajah berlumuran darah.

Meski demikian, Barra sangat mengenali pemilik wajah tersebut, seorang wanita paruh baya yang sangat ia cintai melebihi apapun.

Wajah yang biasanya menampilkan senyum tulus yang mampu membuat hati Barra menghangat, dan menghilangkan semua beban di pundaknya. Kini wajah tersebut hampir tidak di bisa dikenali.

Dengan rasa sesak yang masih memenuhi rongga dadanya, Barra bergegas menghampiri pasien yang berbaring di brankar rumah sakit tersebut.

"Bunda." Lirihnya.

"Suster cepat siapkan semua alat medisnya. Kita harus melakukan operasi." Perintah Barra yang masih berusaha mengontrol emosinya yang terasa campur aduk.

"Tapi dok, butuh persetujuan keluarga pasien untuk operasi, apalagi saat ini kondisi pasien tida-"

"DIA IBU SAYA!." Tanpa sadar Barra membentak suster di hadapannya. Dengan nafas memburu, Barra memejamkan matanya dan tangan yang  terkepal kuat, pikiran dan perasaannya kacau tapi dia harus berusaha tenang.

Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah menyelamatkan nyawa ibunya. Benar, hanya itu. Berusaha mengenyampingkan semua perasaan sesak di dadanya.

Barra dan rekan medis lainnya pun menjalankan operasi tersebut. Kondisi ibu Barra sangat kritis dengan bagian tengkorak kepala yang retak hingga menyebabkan pendarahan hebat.

Batin Barra tak pernah henti berdoa di sela sela operasi yang berlanjut, setiap alat medis yang digunakan dan bekerja sesuai dengan fungsinya terselip harapan besar di dalamnya.

Barra sekuat tenaga menekan perasaan yang membuatnya sulit bernafas demi menyelamatkan nyawa ibunya.

Demi Tuhan, Barra tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Menangani pasien yang merupakan ibunya sendiri? Barra tahu bahwa kematian seseorang adalah takdir Tuhan. Tapi, Tuhan  menjadikan Barra sebagai perantara untuk menyelamatkan nyawa ibunya.

Operasi  sekitar hampir setengah jam, bahkan tak ada satupun keluarga yang tahu akan masalah ini. Meski operasi berjalan dengan lancar, tetapi tidak ada perkembangan dari pasien.

Pasien belum sepenuhnya melewati masa kritisnya. Bahkan harapan untuk keselamatannya sangat kecil.

Tes

Tanpa sadar Anin menitihkan air matanya saat mendengar cerita dari Tuan Laren.

'Sekarang aku mengerti penyebab dia trauma.'

"Kakek, a-apakah penyebab bunda meninggal karena-" Anin bahkan tidak sanggup melanjutkan perkataannya.

Tuan Laren yang mengerti maksud Anin hanya menganggukkan kepalanya.

"Semenjak hari itu, senyum Barra sepenuhnya hilang nak. Rasa trauma dan bersalah membuatnya hampir terpuruk dalam waktu yang tidak singkat."

Anin mendengarkan yang di katakan oleh Tuan Laren dengan tatapan yang masih terfokuskan pada sumber yang sedang menjadi pembicaraan saat ini.

"Apalagi beberapa orang menyalahkan Barra atas kematian ibunya."

"Terutama ayahnya?."

Tuan Laren mengangguk, "Profesi yang menjadi mimpi Barra dari kecil seketika dia menganggapnya sebagai kutukan."

"Tapi ini bukan salah Barra kek, bahkan dia yang paling terluka disini. Kenapa semua orang menyalahkannya?."

"Kakek juga tidak mengerti, bahkan karena kejadian kelam itu membuat renggang hubungan Barra dan ayahnya."

"Menyaksikan ibunya meninggal bahkan berpikir bahwa itu semua salahnya, di benci ayahnya bahkan selalu disebut sebagai alasan ibunya meninggal oleh sebagian orang membuat pria itu menyimpan luka yang besar nak." Sambungnya Tuan Laren.

Anin tersentak saat Tuan Laren menepuk ujung kepalanya dengan tatapan penuh harap, "Itu sebabnya aku menjodohkan kalian berdua. Aku berharap kehadiran mu dapat memberikan kebahagiaan untuk cucuku nak."

Deg.

Anin mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menghindari tatapan pria paruh baya di hadapannya. Ada rasa sesak saat melihat harapan begitu besar di manik sayu pria tua tersebut.

'Bagaimana jika kakek tahu bahwa pernikahan kami tidak seperti yang kakek harapkan?.'

"Ekhem."

Suara deheman membuat kedua orang yang dari tadi sibuk mengobrol menoleh dan mendapati Barra berdiri tidak jauh dari mereka.

Barra mengerutkan kening bingung melihat melihat ekspresi terkejut dua orang di depannya.

Tuan Laren yang pandai menyembunyikan ekspresinya langsung mencairkan suasana. "Hey, cucuku kebanggaan ku ada disini. Kemari nak, duduk bersama kami."

Barra tersenyum tipis melihat tingkah lalu sang kakek, setelah itu bergabung dengan mereka berdua.

"Tadi kakek sedang mengobrol dengan istrimu tentang hubungan kalian berdua, untunglah semuanya baik baik saja. Ini membuktikan bahwa perjodohan tidak selamanya buruk." Ucap Tuan Laren dengan kekehan.

Anin hanya tersenyum tipis sambil sesekali melirik Barra, sedangkan pria di hadapannya nampak sangat santai seolah yang di bicarakan oleh sang kakek benar adanya.

"Kakek tidak sabar menjadi kakek buyut. Kakek sangat menantikan cucu dari kalian berdua."

Deg

Anin membeku di tempatnya mendengar permintaan pria tua di hadapannya tersebut.

'Cucu? tapi bagaimana mungkin?.'

Wanita tersebut menoleh kesamping dan mendapati Barra yang memandangnya dalam dan penuh arti.

Keduanya saling menatap seolah sedang menyelami manik satu sama lain. Entah apa yang ada dipikiran Barra saat ini, permintaan sang kakek seolah membuat gejolak aneh dalam dirinya.

'Anak? aku dan Anin?.'

"Ekhem."

Deheman membuat keduanya tersentak, Tuan Laren yang melihat tingkah cucu cucunya itu hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya.

"Kakek tidak akan memaksa kalian untuk segera memberikan cucu, nikmati waktu berdua dulu, apalagi kalian berdua menikah karena perjodohan." Ucap Tuan Laren.

Anin hanya bergeming di tempatnya. Dia takut suatu hari nanti kebenaran tentang hubungannya dengan Barra di ketahui banyak orang dan akan membuat mereka kecewa. Apalagi saat melihat tatapan penuh harap yang kakek Barra tunjukkan membuat hatinya bimbang.

Sedangkan Barra tahu betul tentang apa yang ada di pikiran Anin. Pria tersebut berusaha menggenggam tangan Anin yang berada di bawah meja.

Anin tersentak dan menoleh ke arah Barra, disana pria tersebut hanya tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala singkat seolah memberi isyarat.

'Tenanglah, semua akan baik baik saja. Percaya padaku.'

Anin membalas dengan senyuman tipis sambil menggelengkan kepalanya.

'Ya Tuhan, semoga tidak terjadi masalah yang besar setelah ini.'












COMPLICATED LOVE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang