(9) Panggilan Telepon

49 8 0
                                    







Dunia Saat Ini

Harry mendengar ketukan di pintu pada pukul delapan malam. Makan malam berakhir dua jam yang lalu dan Harry mulai berpikir Damien melupakannya dan panggilan telepon yang harus dilakukannya. Dia membuka pintu begitu dia mendengar ketukan. Damien tidak masuk ke kamarnya, sebaliknya dia memberi isyarat agar Harry ikut dengannya. Bingung tetapi diam-diam, Harry mengikuti anak laki-laki bermata cokelat itu dan meninggalkan ruang staf dan menuju ke tangga. Pada saat mereka mencapai lantai tujuh, Harry mulai bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan bocah itu.

"Damien, apa...?" dia mulai tetapi diam.

"Tunggu sampai kita sampai." Dia berbisik.

"Sampai kemana? Kemana kita akan pergi?" Harry bertanya.

Damien tidak memberikan jawaban tetapi membawanya ke koridor di lantai tujuh. Harry melihat permadani besar yang memperlihatkan Barnabas si Barmy yang kelihatannya sedang mencoba mengajari para troll menari balet. Dia berhenti di samping permadani dan melihat Damien mondar-mandir di lantai di seberangnya. Dia berjalan mondar-mandir dalam diam. Harry, pada titik ini, yakin bocah itu telah kehilangan akal. Mungkin seseorang memukulnya dengan kutukan membingungkan?

"Damien, apa...?" sekali lagi Harry terputus tetapi kali ini bukan oleh Damien. Saat Damien berjalan menyusuri koridor untuk ketiga kalinya, sebuah pintu muncul di depan mereka. Harry menganga melihat pemandangan itu, Hogwarts terus membuatnya takjub, bahkan setelah empat tahun.

Diam-diam kedua anak laki-laki memasuki ruangan, menutup pintu sepelan mungkin di belakang mereka. Harry mengamati ruangan itu, besar dan nyaman, warna-warna Gryffindor, merah dan emas menghiasinya. Ada api menderu dan kursi sofa besar di depannya. Harry berbalik menghadap Damien.

"Tempat apa ini?" Dia bertanya.

"Kamar Kebutuhan. Kamar ini akan memperlengkapimu dengan apa pun yang kau butuhkan."

Harry melihat sekeliling ruangan.

"Aku butuh tempat yang hangat untuk duduk." Damien menawarkan penjelasan.

Kedua anak laki-laki itu duduk di kursi sebelum Damien mengeluarkan ponselnya. Harry tidak yakin apakah dia hanya berkhayal atau tidak, tetapi menurutnya anak laki-laki itu terlihat sedikit gugup. Dia tidak menunggu untuk berbicara di telepon sendiri dan malah menyerahkan telepon kepada Harry segera setelah tombol 'panggil' hijau ditekan.

"Ini, bicaralah," katanya sambil mendorong telepon ke tangan Harry.

Harry dengan cepat mendekatkan telepon ke telinganya agar bisa dijawab. Dia mendengar suara rekannya memenuhi telinganya.

"Damien."

"Eh, bukan, ini Harry."

Keheningan sesaat berlalu sebelum ada yang berbicara. Harry tidak yakin apakah dia harus memulai percakapan. Setelah beberapa saat yang canggung, Harry yang berusia delapan belas tahun berbicara.

"Kupikir aku sudah menjelaskan kepada Damien bahwa kau akan tinggal di Manor. Apakah dia tidak menjelaskannya padamu?" dia bertanya pelan.

"Dia melakukannya, tapi aku ..."

"Tapi kau mengabaikannya," potong Harry.

"Aku tidak mengabaikannya." Harry membela diri.

"Kau mengabaikannya karena kau sekarang di Hogwarts, di mana penyamaranmu kemungkinan besar akan terbongkar." kata Harry dengan marah.

Harry yang berusia lima belas tahun tidak tahu bagaimana menjawabnya sehingga memilih untuk tetap diam. Setelah perjalanan bencana ke Hogwarts dan kecanggungannya yang semakin meningkat di hadapan Profesor Dumbledore, Harry tahu bahwa kemungkinan identitas aslinya ditemukan relatif tinggi.

Deepest Reflection ⚠️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang