BAB | Gentala Astaguna

6 1 0
                                    

HAPPY READING













• Rumah Gentala Astaguna
Jl. Padjajaran Timur.

"NTONG, BANGUN."

Suara lantang dari lantai bawah itu, yang biasanya mengawali Pagi hari seorang lelaki bernama Gentala Astaguna, dikediamannya seluas 200 m² ini.

Tubuhnya masih terbaring pulas di atas kasur yang lembut. Hanya gerakkan singkat, tanpa berniatan untuk bangkit.

Lelaki bertubuh sedikit kekar yang terselimuti kaos hitam polos oversize itu menarik kursi yang berada di ruang makan. Ia meletakkan tablet merek Apple di hadapannya, bersamaan dengan cangkir putih berisi kopi hitam instant.

Selang beberapa detik, seorang Wanita mengenakan daster panjang bermotif batik dengan apron bunga-bunga yang melekat ditubuhnya-membawakan semangkuk berukuran diameter 20 cm berisi sayur asam. Setelah diletakkannya mangkuk tersebut, beliau segera menyajikan pelengkap lauk lainnya.

Geansuna Astaguna, Mahasiswa semester 7 dari Fakultas Teknik, prodi Teknik Sipil, Universitas Diponegoro itu segera melirik isi meja dihadapannya yang sudah penuh dengan berbagai macam lauk.

"Waaah, Bu Sum, masak segini banyaknya sendirian?" tanya Ganu antusias.

"Iya to, Mas Ganu. Emang dibantuin siapa lagi?" jawab Bu Sum-selaku ART di rumah besar ini selama 17 tahun lamanya.

Ganu menampakkan cengirannya. "Hahaha, keren lah, Bu Sum. Besok kalau kerepotan, minta bantuin Si Genta aja, Bu," ujarnya lagi memberi ide.

"Ndak usah, lah. Bu Sum bisa sendiri kok," sahut beliau dengan gerakkan tangannya. "Eh, Mas Genta, kok ndak turun-turun itu? Apa ndak telat?"

"Kebiasaan emang, Bu. Biarin aja telat," sahut Ganu acuh. Ia kembali melirik tablet miliknya sembari menyomot satu lembar potongan tempe goreng.

"Ya udah, biar Bu Sum yang ba-"

Ganu segera memotong perkataan Asisten Rumah Tangganya tersebut. "Ganu aja, Bu Sum. Ngapain capek-capek bangunin bocah satu itu. Udah, di sini aja." Ia segera bangkit dari tempat duduk. Lalu bergegas ke atas dengan membawa tablet miliknya.

Bu Sumaryati hanya tersenyum kagum dengan Ganu yang terlihat cuek namun tetap peduli dengan adiknya. Mungkin, bukan peduli dengan keadaan adiknya, tapi lebih tepatnya dengan kondisi Bu Sum. Mengingat beliau telah bekerja keras untuk membuat sarapan. Terlebih, persendian Wanita berumur 60 tahun itu sudah tak sebugar dahulu.

Menjadi anak pertama dari keluarga yang tak lagi utuh memanglah berat. Bapak selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai Direktur proyek kontruksi. Mereka sudah pisah rumah dengan Ibu-yang bekerja sebagai Wartawan di Stasiun TV. Kini hanya Bapak, Ganu, Genta, dan Bu Sum saja yang menempati rumah ini. Dan Ganu secara tidak langsung menjadi sosok orang tua yang memantau kegiatan adiknya.

Ganu membuka lebar pintu kayu jati ini dengan kencang, sehingga menimbulkan suara lantang. Namun, tetap saja, pemilik kamar tak merespon sumber suara itu.

"Tangi, Ndes!" bentaknya dengan suara berat nan tegas, seraya menendang cukup keras pantat adiknya.

* "Bangun, heh!"

Tak lupa Lelaki berusia 21 tahun itu melakukan kebiasaannya ketika membangunkan adiknya. Hal pertama yang ia lakukan, membuka gorden kamar-beserta jendelanya. Kedua, mematikan pendingin ruangan. Dan, yang terakhir, fungsinya ia membawa tablet, adalah untuk membunyikan suara sirine Ambulan.

Ketiga cara itu sangat ampuh sekali. Sebenarnya ada bagian ke-empat. Yaitu memantulkan bola basket pada pantat Genta. Namun, Ganu sedang tak ingin menyia-nyiakan tenaganya.

Our HeydayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang