BAB | Maheswara Wiryamanta

3 0 0
                                    

HAPPY READING














• Rumah Maheswara Wiryamanta
PERUM TNI/POLRI Kalipuro.

Seorang lelaki berkulit putih dengan bentuk wajah kecil itu, sedari tadi tak berhenti memainkan dua jarum besar yang saling terhubung oleh benang rajut warna merah muda bercampur merah maroon di tangannya—sehingga membentuk sebuah kain sepanjang 30 cm.

Dua telapak kakinya menggeser-geser skateboard berwarna abu-abu—di lantai ruang tamu rumahnya. Di bagian lehernya sudah terkalung headset bluetooth warna hitam polos.

Berkali-kali membenarkan kaca matanya dan mencoba menikmati suasana Pagi yang tenang ini. Tetapi, berharap apa dirinya dengan Wanita-wanita di dalam rumahnya ini? Toh, mereka adalah penguasa dari segala penguasa langit dan bumi.

Nasib malang memang, menjadi anak terakhir yang memiliki tiga Kakak perempuan di keluarganya. Lelaki bernama Maheswara Wiryamanta ini, selalu saja menjadi suruhan ketiga kakaknya, mulai dari Kakak pertamanya : Mayasari Wiryamanta, yang menyuruhnya untuk menjaga anaknya.

Kakak keduanya : Melvanni Wiryamanta, yang hampir setiap hari menyuruhnya untuk antar-jemput, hingga Kakak ketiga : Maevarra Wiryamanta, yang selalu menyuruhnya untuk membelikan jajanan atau segala keperluannya.

Dan, satu-satunya Wanita yang tak pernah Mahes langgar aturannya, adalah Ibu. Beliau adalah ras terkuat di rumahnya. Jika Mahes mulai muak dengan suruhan Kakak-kakaknya, ia akan sibuk menanyakan apa yang perlu dibantu dari Ibu.

Semua Mahes lakukan hanya demi uang sakunya. Jika tidak begitu pun, mana mau dia bersusah payah sampai detik ini.

Pagi kali ini pun ia harus bersabar menunggu ketiga kakaknya yang katanya 'hanya sebentar' tetapi kenyataannya lebih dari se-jam.

Inilah, yang membuat Mahes malas berangkat sekolah dengan ke-tiga kakaknya. Selain itu, berangkat bersama ibunya pun, Mahes harus berhadapan dengan seribu ceramah. Mulai dari cara berpakaiannya, nilai tugas, hingga hobi-hobinya yang tak bersalah. Memang sudah paling benar berangkat sendiri. Namun, sahabatnya menawarkan tumpangan pulang-pergi. Tidak akan Mahes sia-siakan kesempatan emas ini, walau ia harus menunggu di halte BRT.

Mahes melirik jam tangannya seraya menghela napas berat. Mencengkeram erat-erat dua gulungan benang wol dengan kesal, ketika kebisingan di dalam semakin terdengar kencang. Entah itu suara gaduh perdebatan antara anak kedua dan ketiga, atau suara nyaring dari tangisan ponakkannya. Rasanya suara mereka saling berpadu.

"Kak Yaya, Kak Pani, Kak Eva ... Udah belum? Cepetan dikit." Dengan nada lembut dan tidak terlalu tinggi. Tentu saja panggilan itu sama sekali tak di hiraukan ketiga kakaknya.

"Kak Pan! Parfumku mana?!" ujar Eva, yang terdengar hingga ruang tamu, tempat Mahes menunggu.

"Ya mana aku tau, anjir!" jawab Vanni tampak dengan nada yang sama-sama kesal.

"Kan tadi kamu yang pake."

"Iiiihhh!!! Aku nyentuh parfum kamu Pagi ini aja nggak sama sekali! Fitnah terus deh. Heran!" kata Vanni yang makin emosi.

Mahes hanya memejamkan mata sekejap.

"Ahes!"

Panggilan maut yang terdengar samar-samar itu, mendadak membuat bulu kudunya merinding. Langsung saja ia bersandar pasrah di dinding dengan wajah tertutup jaket boomber bertuliskan 'ISS' dipunggung.

"Ahes!" Satu senggolan di pundaknya terasa, bersamaan dengan tangisan nyaring yang sangat menggelegar di telinga kanannya.

"Apa?" jawab Mahes dengan ketus.

Our HeydayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang