BAB | Raphaella Lesya Oceana

3 0 0
                                    

HAPPY READING










—Senin, 1 Agustus 2016

• Rumah Raphaella Lesya Oceana
Jl. Kusuma Raya.

Pagi hari dirumah tua yang sangat sederhana. Di area dapur yang menyatu dengan tempat makan ini, terlihat seorang gadis dengan seragam putih abu-abunya sedang menggoreng telur dadar di teflon sedang.

Satu-satunya anggota keluarganya sedang duduk santai di area tempat makan, menonton sebuah berita dari televisi.

Pria berbadan besar dengan struktur wajah bulat ini melirik anak sulungnya. "Nok, nanti beneran ndak apa-apa ke sekolah baru sendirian?"

Gadis berambut pendek seleher yang terkuncir setengahnya ini menghampiri Pria bernama lengkap Indra Pujiyanto—di meja makan.

"Iya beneran, Pak. Memangnya Oca anak TK-yang harus diantar sampai kelas?" ujar Oca seraya meletakkan sepiring berisi potongan delapan ayam goreng—yang diberi oleh tetangga barunya kemarin atas sambutan sebagai penghuni rumah baru.

Indra tak langsung menjawab. Ia berdiri dari tempat duduknya dan menuju rak piring yang terletak di dekat kulkas usang. "Siapa tau begitu, to? Kamu kan, susah bersosialisasi dengan orang sekitar. Gimana nanti ketemu teman baru kamu?"

Oca munurunkan satu sudut bibirnya seraya menghela napas malas. Bapak memang selalu tahu betul apa yang dialami dirinya. Susah bertegur sapa dengan orang sekitar, apalagi untuk mendapatkan teman.

Sebenarnya, Oca juga sudah lelah harus beradaptasi lagi. Memulai dari awal untuk berbagi cerita tentang kehidupannya. Namun, Bapak selalu meyakinkan dirinya, bahwa semua bisa dilewati jika pikiran kita tenang.

Poin utamanya tidak di sana. Tapi, Oca mau-tidak-mau menuruti permintaan Bapak yang ingin pindah ke kota saja, daripada di desa, yang menyimpan seribu kenangan dengan mendiang istrinya, alias Ibu kandung Oca.

"Oca, nanti jangan anti-sosial dengan teman baru kamu. Di kota, pertemanan memang lebih mengerikan daripada preman. Tapi, Bapak harap, kamu bisa menyesuaikan tempat dan menilai yang baik dari pengelihatan kamu sendiri ya, Nok?" ucap Indra memberi wejangan.

Gadis dengan pipi chubby itu hanya memberika smile down ke arah bapaknya. Bapak memang se-khawatir itu dengan kepribadian Introvert-nya, dan juga pergaulan anak zaman sekarang yang makin mengerikan. Tapi, pelatih Taekwondo profesional itu tidak pernah menunjukkan secara terang-terangan.

"Oke, ndak? Kok ndak jawab, Ca?"

"Inggih, Bapak ... Tenang aja," jawab Oca lembut seraya tersenyum tipis.

Indra kembali pada tempat duduknya setelah mengambil masing-masing dua piring, sendok, garpu, dan juga gelas. Di meja makan yang hanya muat untuk dua orang saja, juga selalu hanya ada dua kursi dan dengan lauk pauk yang sedikit. Tidak seperti dulu yang rasa-rasanya sangat sesak untuk tiga orang.

Setelah kepergian seorang Wanita yang berperan sebagai Ibu Rumah Tangga, semuanya terasa sepi. Meja makan, dapur, ruang televisi, ruang kerja, hingga halaman rumah—semua tampak hampa—sekalipun sudah berpindah tempat, meninggalkan kenangan dan aroma yang terus membuat perasaan sedih.

Kepensiunan Indra yang terlalu dini, dan pengeluaran untuk biaya rumah sakit setelah meninggalnya Ibu tercinta, membuat hidup Oca jauh dari kata cukup dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya.

"Bapak mau berangkat jam berapa? Katanya jam delapan? Kok nggak siap-siap?" tanya Oca disela-sela makannya.

Indra yang baru saja meneguk air mineral dari gelas itu lantas bersuara. "Masih nanti jam sepuluh. Lagian Bapak sudah beresin setengahnya tadi Malam."

Our HeydayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang