1

115 10 1
                                    

"Without a king the queen must keep her crown shining"
--Lavender--

Gadis berumur 22 tahun itu menatap lurus ke arah lengan kirinya, memperhatikan jarum suntik berukuran 16 sampai 17 Gauss yang dilepaskan dari pembuluh darah vena miliknya.

"Nama kamu siapa?" tanya wanita paruh baya dihadapannya.

Hening, hingga pada akhirnya gadis muda itu menjawab, "Pitaloka, Dokter."

Seorang Perawat yang sedari tadi mendampingi Dokter yang menangani Pitaloka kini pergi, membawa serta peralatan yang tidak lagi dibutuhkan. Sedangkan wanita paruh baya yang dipanggil Dokter tadi kembali bertanya, "Kamu kerja disini?" sembari matanya melirik kartu tanda pengenal yang ada digenggaman tangan kanan Pitaloka.

"Iya dok, kurang lebih tiga bulan lalu saya kerja di bagian rekam medis," terang Pitaloka, karena merasa tidak sopan dan kurang nyaman terlentang, Pitaloka bangkit untuk memposisikan dirinya duduk.

Sedangkan kening wanita paruh baya itu berkerut, terlihat sedikit sangsi mendengar jawaban Pitaloka. "Saya kira kamu Perawat," ujar sang Dokter, "yang kecelakaan siapa?" lanjutnya.

Pitaloka sedikit termenung, memikirkan siapa yang dimaksud oleh wanita itu, kemudian dia menjawab, "Balita, Dok."

Dokter tadi terkekeh mendengarnya, lalu kembali buka suara dan berkata, "Maksud saya dia keponakan kamu atau siapa?"

"Oh, bukan siapa-siapa kok. Saya juga baru ketemu tadi di IGD," beber Pitaloka dengan polosnya.

"Terus alasan kamu mendonorkan darah kamu kenapa kalau bukan keluarga?" Mendengar pertanyaan itu tanpa banyak berpikir Pitaloka bertutur, "Soalnya golongan darah saya O rhesus negatif, seperti yang Dokter tahu golongan darah O rhesus negatif itu termasuk yang paling aman untuk ditransfusikan ke siapa saja, bahkan bayi baru lahir sekalipun. Permasalahannya stok golongan darah yang sama kayak balita tadi lagi kosong, kebetulan saya bisa bantu dan gak ada resiko berbahaya juga, jadi kenapa gak."

"Saya lihat tadi anak itu di dampingi kedua orang tuanya, seharusnya kamu sebagai orang asing gak perlu repot-repot berkorban," ungkap Dokter, kembali memperpanjang percakapan mereka berdua.

Pitaloka tersenyum tulus, kini suaranya kian diperhalus dia berkata, "Dalam posisi rumit seperti ini, keadaan kedua orang tuanya pasti kurang fit Dokter, entah itu fisik atau batin. Mereka juga sama-sama mengalami kecelakaan, bukankah ada baiknya pendonor darah dalam keadaan sehat saat menjadi pihak yang mendonorkan darahnya? Kalau mengikuti syarat itu, jelas kedua orang tuanya kurang tepat jika dijadikan pendonor, sekalipun mereka punya hubungan lebih kuat, ada baiknya kita mengurangi sedikit resiko."

"Serius kamu bukan Perawat?" tanya Dokter kembali memastikan, Pitaloka mengangguk menanggapinya.

"Menurut saya mempunyai pengetahuan terhadap sesuatu, bukan berarti kita harus berprofesi sesuai pengetahuan yang kita tahu." Wanita paruh baya dihadapannya tersenyum, dalam hati menyetujui ucapan Pitaloka.

"Ngomong-ngomong kalau saya udah selesai boleh pergi duluan kan Dok?" tanya Pitaloka, sebenarnya dalam keadaan ini dia sedikit merasa tidak sopan jika harus pergi begitu saja, namun hanya diam dan tidak berinisiatif untuk angkat bicara juga bukan hal yang baik.

Jam menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit, yang artinya sebentar lagi waktu kerja Pitaloka dimulai. Jika dia menunggu dokter memperbolehkannya pergi, yang ada meskipun masih di rumah sakit yang sama, dia akan terlambat juga.

"Memang sudah ada yang jemput? kalau sudah silakan nanti istirahat di rumah," ucap sang Dokter, mendengar itu dalam hati Pitaloka meringis, sebab dia pun menginginkan istirahat di rumah, mengisi kembali energi yang serasa hampir habis karena harus berinteraksi dengan banyak orang, namun tanggung jawabnya untuk bekerja tidak bisa dia tinggalkan begitu saja.

Lavender Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang