"Salah satu titik paling putus asa adalah disaat kamu tidak peduli lagi kepada siapa kamu meminta pertolongan"
--Lavender--
"Bunda, Juna boleh jalan-jalan gak?" pinta Arjuna, mata laki-laki itu tidak lagi nampak berbinar setelah tiga minggu ini menjalani proses dialisis, Arjuna perlahan kehilangan semangat hidupnya.Dia mengurangi intensitas pertemuannya dengan Pitaloka, sebab tidak mau membuat perempuan itu khawatir jika sampai tumbang di hadapannya hanya karena kelelahan.
Arjuna jadi murung, laki-laki itu hanya akan nampak berseri wajahnya saat ada di sisi Pitaloka, itupun dalam waktu singkat.
Selena tidak bisa memaksakan keinginan Arjuna yang tidak ingin Pitaloka mengetahui penyakitnya, meskipun Selena yakin dengan cara itu Pitaloka dapat memberikan perhatian lebih kepada Arjuna, dan menemaninya kapanpun dia bisa.
Sayangnya Arjuna terlalu pengecut, dia tidak mau memikirkan kemungkin Pitaloka merasakan sedih yang berlarut-larut, namun kemudian harus menggunakan topeng ceria saat berhadapan dengan Arjuna.
Sejauh ini Arjuna bahagia menjadi orang yang paling memahami Pitaloka, melihat perempuan itu sedih, kecewa, bahagia, lalu tertawa. Arjuna merasa jadi rumah ternyaman baginya, dan Arjuna tidak ingin Pitaloka kembali membuat batasan, dengan menyembunyikan jutaan cerita yang selalu hinggap diotak perempuan itu, hanya karena merasa membebani Arjuna jika ceritanya sampai pada telinga kekasihnya.
"Sama Bunda ya?" tawar Selena.
"Sendiri aja, cuman ke toko bunga sebentar, nanti kalau udah selesai Juna minta jemput, tapi kalau Bunda kerepotan Juna bisa naik transportasi umum."
"Mau cari apa, Nak? kenapa gak sama Bunda?" Arjuna menggelengkan kepalanya.
"Mau cari suasana yang dulu bisa Juna nikmati dengan bebas tanpa ngerasa takut pergi untuk selamanya," lirih Arjuna.
"Boleh Bunda?" tanya Arjuna lagi.
"Kalau Bunda minta Loka temenin kamu mau gak?" Arjuna tersenyum miris.
"Dengan muka yang pucat pasi gini? yang ada sandiwara Juna langsung ketahuan dong," keluh Arjuna.
"Telepon kalau ada apa-apa, Bunda pulang duluan," putus Selena, pada akhirnya dia membiarkan Arjuna bebas pergi sendirian, agar putranya tidak merasa tertekan.
•••
Januartha turun dari mobilnya dengan kaca mata hitam, di ikuti Kevin yang setia menjadi manajer sekaligus ajudan. Sebenarnya masih ada Pradipta yang mengekor, tapi Januartha tidak menganggap kehadiran anak itu lantaran membuat pianonya sumbang, entah apa yang Pradipta lakukan, dia benar-benar menyebalkan di mata Januartha.
"Ngapain ke toko bunga sih Bang," protes Pradipta.
"Lo futsal mulu bocah gendeng! bau seisi rumah gara-gara sepatu lo!" cerca Januartha.
Pradipta hanya mampu bergumam, "Perasaan gak selebay itu." Kevin yang mendengar gumaman Pradipta dalam hati menyetujui ucapannya.
Kevin bahkan merasa perkataan Januartha hanya alibi semata, sebab beberapa minggu terakhir bos-nya itu sering menanyakan perihal toko bunga, dan menanyakan adakah toko bunga yang menjual bunga Lavender di sekitar daerah mereka.
Setelah masuk ke dalam toko bunga, Januartha mendapati seorang florist yang ada di balik meja kasir, senyumnya seketika mengembang, dengan segera dia mendekat.
Mulut Januartha baru saja berniat mengeluarkan suara, namun seseorang lebih dulu menyelanya.
"Lavender kayak biasa ya Mbak," sela orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavender
FanfictionSemua orang berhak bahagia, setidaknya mereka dapat menentukan alasan sederhana, untuk tetap bertahan hidup di dunia yang terasa memuakkan ini. Dan Pitaloka memilih Arjuna sebagai alasan sekaligus rumah untuk tempatnya berpulang, dengan Arjuna segal...