25

19 3 0
                                    

"I don't say I love you but, I would give half of my life for you"
--Lavender--

Pitaloka memperhatikan Selena dari jauh, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu tengah melamun di taman rumah sakit tempat putranya dirawat, tidak menyadari ke datangan Pitaloka yang terlalu tiba-tiba.

Januartha sendiri setia berdiri di sampingnya, tentu dengan Kevin juga.

"Mau disamperin kesana?" tanya Januartha.

"Gak usah, gue mau ketemu Dokter Yusuf dulu," ujar Pitaloka, mengambil langkah memasuki rumah sakit lalu mencari letak poli penyakit dalam, setelah sampai di sana, gadis itu mendatangi meja informasi.

"Permisi Mbak, mau tanya ruangan Dokter Yusuf spesialis nefrologi sebelah mana ya?" tanya Pitaloka.

"Maaf sebelumnya apa sudah ada janji?" Pitaloka menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu mari biar saya antar."

•••

"Bunda gak mau," tolak Selena, dia sama sekali tidak mau menatap Pitaloka.

"Tapi Loka mau Bunda, memang Bunda gak mau lihat Kak Juna hidup normal seperti biasa? maka dari itu tolong izinin Loka," bujuk Pitaloka.

"Bunda memang mau Juna sembuh, tapi gak dengan mengorbankan salah satu ginjal kamu Loka! banyak kemungkinan yang bisa terjadi setelah transplantasi, memangnya kamu gak takut mati?"

"Bunda mati itu takdir, rasanya bakal melegakan kalau sebelum mati Loka bisa berguna buat orang lain."

"Terus kamu mau ninggalin Juna gitu? kamu tega anak Bunda dihantui rasa bersalah seumur hidupnya?" tuduh Selena.

"Kalau Loka pergi buat selama-lamanya, Kak Juna bisa cari orang yang lebih baik dari Loka, itu artinya Loka bukan yang terbaik buat Kak Juna," tutur Pitaloka.

"Percaya sama Loka Bunda, Loka gak mungkin ngelakuin sesuatu tanpa pertimbangan."

•••

Sayup-sayup terdengar suara Januartha yang meninggikan nada bicaranya, karena takut terjadi sesuatu Kevin melanggar perintah Januartha untuk tidak mendekat ke tempat mereka berdua.

"Gue cuman minta tolong bantu urus surat wasiat gue kalau kemungkinan terburuknya terjadi Janu," pinta Pitaloka.

"Lo gila! sumpah Dyah, bisa-bisanya lo nyuruh orang yang suka sama lo buat urus surat wasiat lo!" bentak Januartha, "Lo udah berhasil bikin gue patah hati karena lebih milih Arjuna dibandingkan gue, sekarang lo lebih tega lagi mau berkorban buat cowok banci itu meskipun taruhannya mati, dan kenapa harus gue yang bantu lo kalau kemungkinan terburuk itu terjadi."

Pitaloka memegang kedua bahu Januartha dengan senyuman simpulnya, bohong jika Pitaloka tidak takut akan konsekuensi transplantasi yang dia jalani.

Sejak kemarin dia selalu dihujani rasa tertekan karena keluarga Arjuna pun berkali-kali menolaknya, untuk memberikan salah satu ginjalnya kepada Arjuna.

Namun bukan Pitaloka jika dia menyerah dengan begitu mudah, buktinya sekarang Pitaloka telah mendapatkan izin, ginjalnya pun sudah diperiksa, perempuan itu bersyukur karena ginjalnya sehat dan cocok untuk Arjuna.

"Janu, kalau gue mati nanti, anggap aja itu hukuman terbaik karena buat lo sakit hati, pada akhirnya gue gak dapatin Arjuna juga kan? lo gak bisa miliki gue dan gak ada satu pun orang yang bisa miliki gue."

Lavender Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang