3. Lampu Hijau

11 0 0
                                    

Hai, Hai, Ay Ay kambek. Selamat membaca.

Jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam, tetapi Ayana masih terjaga. Permintaan Reynaga yang menurut Ayana sederhana terasa mengusiknya. Sesederhana itu memang, tetapi sesulit itu pula Ayana untuk mengabulkannya.

Reynaga memang tidak pernah menuntut apa pun dari Ayana, ia hanya ingin mereka terikat dalam status yang jelas. Reynaga ingin keluarga kedua belah pihak mengetahui hubungannya bersama Ayana. Reynaga juga sering menyampaikan rasa jenuhnya karena menjalin hubungan backstreet layaknya hubungan ketika ia menginjak usia remaja.

Ayana benar-benar dilema. Ia merasa kehabisan akal untuk menjodohkan Nisa. Ayana pernah mengenalkan Nisa kepada teman-teman atau beberapa leadernya di pabrik, tetapi selalu berakhir gagal. Satu per satu alasan mereka lontarkan setelah mengetahui kekurangan Nisa.

Lamunan Ayana teralihkan oleh getar ponsel di sampingnya. Senyum di bibir Ayana tersungging kala melihat notifikasi dari beberapa grup dan dari seseorang yang sedari tadi memenuhi pikirannya.

[Bagaimana, Ay? Aku tidak mau kehilangan kamu.]

[kehilangan gmn si mas,, aku nggak kemana² kok]

[Ya aku juga kepengen ke mana-mana sama kamu. Memangnya kamu pikir aku kuat lihat kamu makan berdua sama Fajar, kemana-mana sama dia, atau lihat kamu becanda sama teman lelaki kamu.]

[sabar,,]

Ayana mengembuskan napas panjang ketika Reynaga tidak langsung mengetik balasan untuknya. Reynaga hanya membaca pesan Ayana. Seperti biasa, Reynaga kalau sudah kesal akan lebih memilih menghindar daripada mereka berakhir bertengkar.

Ayana terdiam sejenak. Ayana harus menelepon Reynaga sekadar meyakinkan lelakinya kalau semua akan baik-baik saja. Ayana gegas keluar dan berjalan mengendap-endap menuju teras rumah.

“Aya, mau ke mana kamu?”

Jantung Aya terasa mau copot. Ia berbalik dan menatap Mimi yang baru keluar dari dapur dengan secangkir teh panas. Sungguh, Ayana merasa seperti seorang maling yang ketahuan ketika sedang menjalankan misinya.

“Panas, Bu, Aya mau cari angin.”

“Cari angin?” Mata Mimi menyipit curiga. “Pake kaos tanpa jilbab?”

“Ya, kan cuma di teras doang, Bu,” kilah Ayana.

“Tetap saja. Meskipun cuma keluar rumah, usahakan jilbabnya dipake. Memangnya kamu pikir laki-laki yang lewat rumah kita itu mahrom semuanya. Jangan dibiasakan pake kaos ngepas begitu juga, lekuk tubuh kamu terbentuk, bisa menimbulkan syahwat laki-laki normal.”

“Bu, kan ini cuma di rumah.”

Ayana menatap lesu ibunya. Niat hati mau menelepon Reynaga, ia malah berakhir dinasihati sang ibu. Padahal, gerah dan panas yang dirasa hanya alasan, tapi sepertinya sebentar lagi Ayana akan benar-benar kepanasan oleh petuah Mimi.

“Bu, ada apa?” tanya Nisa yang baru keluar dari kamar sebelah.

“Itu adikmu. Malam-malam mau cari angin di luar.”

Ayana mencebik kesal. Kalau tidak takut dosa, sudah dari dulu ia kabur dari rumah. Ayana bosan mendengar omelan Mimi di setiap harinya. Ia ingin hidup bebas seperti kebanyakan teman-temannya.

“Dek, ngapain, sih. Nanti kamu masuk angin,” tegur Nisa diikuti usapan pelan pada punggungnya. “Tidur sana, jangan begadang terus.”

“Heran Ibu lama-lama sama sikap adik kamu, Nis.”

Ayana menunduk diikuti embusan napas beratnya. Ayolah, Ayana hanya ingin menelepon Reynaga, tetapi kenapa malah berakhir disudutkan lagi. Semangatnya untuk menelepon Reynaga tampaknya akan dipatahkan orang-orang rumah.

Triangle LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang