Oleh-oleh Jodoh
“Bu, kalau ada yang main ke sini boleh?”
Gadis yang baru lulus SMA satu tahun lalu itu menggigit bibir bawah dengan pelan. Pikirannya berkecamuk. Sudah berhari-hari lamanya ia mempersiapkan diri untuk mengungkapkan semua itu. Akhirnya, di pagi buta itu ia berhasil mengutarakannya.
“Main?” beo sang ibu kebingungan.
“I-iya Bu.”
Ayana mencoba meyakinkan diri sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. Semalaman penuh Ayana mmenyiapkan hati untuk mengumpulkan keberanian dan menghilangkan ragu. Namun, Mimi—ibunya—masih fokus pada gorengan yang sedang dicetaknya.
“Sejak kapan kamu minta izin Ibu, Aya?”
Ayana tersenyum bahagia. Ia benar-benar tidak percaya kalau ibunya akan memberi izin semudah itu. Ayana hendak berlalu dari dapur, tetapi langkahnya terhenti saat Mimi tiba-tiba memanggilnya dengan nada datar.
“Siapa yang mau main ke sini, Aya?”
“A-anu, Bu.”
“Teman perempuan atau teman laki-laki?”
Ayana mengalihkan tatapan saat Mimi menatapnya dengan tajam. Ia merasakan firasat buruk berupa petuah-petuah yang sering didengar akan diucap ulang oleh Mimi.
“Jadi benar kata orang-orang kalau kamu memang sudah punya pacar?”
Bahu Ayana melemas. Kepalanya menunduk pasrah. Sesi interogasi akan dimulai dan Ayana mendadak kehilangan semangat.
“Bu, Aya cuman—”
“Cuman apa?” potong Mimi seraya menyimpan spatulanya di atas kaleng. “Kamu ini masih bau kencur. Ibu sekolahkan kamu supaya kamu bisa membanggakan keluarga. Kamu itu satu-satunya harapan Ibu.”
“Kamu lihat mbakmu. Dia tidak pernah neko-neko, penurut, dan tidak pernah membuat Ibu malu,” lanjutnya lagi.
“Bu, memangnya Aya pernah bikin Ibu malu?”
“Iya. Ibu sudah lumayan lama mendengar kabar itu. Ibu kira hanya kabar angin, tapi ternyata ....”
“Aya sudah dewasa, Bu. Kalaupun Aya punya pacar, Aya bisa jaga diri. Kasih Aya kesempatan.”
“Kesempatan apa? Kesempatan untuk pacaran? Lalu bagaimana kalau pacarmu mengajak ke jenjang yang lebih serius lagi? Bagaimana dengan mbakmu? Kamu harus pikirkan dia juga. Pengorbanan mbakmu itu besar. Dia rela putus sekolah supaya kamu bisa bersekolah.”
Putus sekolah yang Mimi maksud bukanlah putus sekolah yang sebenarnya bagi Ayana. Kakak satu-satunya itu hanya tidak mau melanjutkan pendidikan saja. Itu pun karena ada faktor lain lagi. Ayana bukan anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
“Tapi Aya bukan Mbak Nisa, Bu.”
“Kamu ini susah dibilangin. Kenapa watak keras bapakmu harus menurun ke kamu, Aya? Sudah, beresin kerjaanmu sana. Pagi-pagi sudah bikin rusuh saja.”
Sekeranjang pakaian bersih itu Ayana angkat ke samping rumah. Rutinitas paginya usai sholat Subuh yaitu mencuci pakaian dan menjemurnya. Sementara ibu dan kakaknya punya kesibukan lain. Ya, mereka berbagi tugas saling meringankan pekerjaan.
Setibanya di samping rumah, Ayana melirik sebal pada Annisa atau lebih lebih akrab dipanggil Nisa. Pencapaian atau apa pun yang diraih oleh Ayana selalu dibanding-bandingkan dengan Nisa. Ketidakadilan itu semakin menjadi semenjak Ayana menginjak masa remaja. Di mata Ayana, Nisa selalu menjadi prioritas Mimi.
“Nis, nasi uduknya yang satu pakai telur, yang satu jangan, ya.”
“Punya saya nggak pake sambel semua, Mbak Nisa. Tapi sambelnya minta dipisah, ya.”
“Oh, iya, sebentar, ya.” Suara lemah lembut itu milik Nisa.
“Si mbaknya udah cantik, rajin, nggak malu jualan lagi. Salut saya. Andai belum punya calon, sudah saya pinang, deh.”
“Gaskeun, Mas, mumpung janur kuning belum melengkung.”
Ayana memeras pakaian yang akan dijemurnya dengan kuat. Ia benci mendengar perbincangan orang-orang di luar sana yang topiknya itu-itu saja. Selalu Nisa yang banjir pujian, sementara dirinya bagaikan sosok tak terlihat di mata sang ibu.
Perbedaan di antara keduanya memang tampak begitu jelas. Jika Nisa ramah, lemah lembut, pintar masak, cerdas, dan murah senyum, maka Ayana sebaliknya. Ayana terkenal galak, judes, tapi berotak biasa, dan cenderung tidak rajin seperti Nisa. Namun, keduanya sama-sama memiliki paras jelita, tetapi punya daya tarik berbeda.
Semenjak dinyatakan lulus SMP, Nisa memang tidak melanjutkan pendidikan hingga SMA seperti Ayana. Ada satu alasan yang membuatnya terpaksa mengubur impian dalam-dalam. Selain itu, Nisa dengan pikiran di usia remajanya saat itu tak mau merepotkan Mimi mengingat Ayana pun ingin lanjut sekolah.
Sejak saat itu, Nisa membantu Mimi berjualan. Dia ikut bangun pagi, menyiapkan bahan dagangan, kadang kala bergantian membuat gorengan, tapi lebih sering melayani pembeli seperti sekarang. Mimi tidak mau putri pertamanya terlalu capai, jadilah ia yang memasak di dapur.
Nasi uduk Mimi juga sudah terkenal oleh cita rasanya yang enak. Terkadang, ada orang dari luar kota yang sengaja mengunjungi kedai sarapannya hanya karena penasaran dengan rasanya. Tentu semua itu karena campur tangan Ayana yang aktif bersosial media.
Tak terasa pakaian-pakaian dari keranjang sudah Ayana jemur semua. Gadis yang baru lulus masa probation atau lebih akrab disebut masa training itu bergegas menghampiri sang ibu di dapur.
“Aya berangkat, Bu.”
Ayana mengulurkan tangan hendak menggapai tangan Mimi. Namun, wanita yang usianya mendekati setengah baya itu hanya menoleh tanpa menyambutnya.
“Tolong bantu iris sayuran untuk bakwan dulu, Aya.”
“Tapi sekarang udah jam setengah tujuh, Bu.”
“Masih pagi. Siapa suruh bangun siang. Contoh mbakmu. Ibu tidak pernah membangunkannya tapi dia sudah bangun duluan. Mbakmu tanpa disuruh pun sudah paham pekerjaan rumah.”
“Tapi Aya takut telat, Bu.”
Melihat Mimi diam tanpa kata, Ayana menarik uluran tangannya. Ayana beralih mengambil pisau dan sayuran yang sudah disiapkan Mimi. Ayana kesal bukan main. Air mukanya keruh bukan kepalang karena Mimi jarang mengertikan keadaannya.
Selalu seperti itu. Mood-nya pasti dirusak oleh perbedaan-perbedaan yang selalu dibanding-bandingkan. Ayana terkadang merasa kalau apa yang selama ini ia lakukan tak pernah ada harganya di mata Bu Mimi.
Tak lama berselang, ponsel dalam saku celana kainnya bergetar. Ayana mencuri-curi waktu untuk sekadar mengintip nama si penelepon. Setelah dilihat singkat, ternyata penyemangatnya lah yang menelepon.
Dengan perasaannya yang kembali berbunga-bunga, Ayana kembali mengiris kol dengan gerakan cepat. Ia harus segera menemui pacarnya yang sudah menunggu untuk berangkat bersama.
Melihat kedatangan Nisa ke dapur, Ayana lekas bersiap-siap. Ketika Nisa sedang mengobrol dengan Mimi perihal stok kopi yang tersedia, Ayana meminta Nisa mendekat lewat isyarat.
“Mbak, Aya berangkat. Mbak Nisa nanti tolong parut wortel sama irisin daun bawangnya, ya,” bisik Ayana.
“Dek—”
Ayana menyimpan jari telunjuknya di jari. “Nanti Aya bawain oleh-oleh jodoh buat Mbak Nisa biar Aya dibolehin pacaran sama ibu.”
Ayana beranjak dari duduk tanpa mengeluarkan suara. Ia hendak bersiap-siap dan berteriak, “Bu, Aya berangkat. Assalamualaikum!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangle Love
Fiksi UmumDibaca aja, yuk. Insya Allah update setiap hari, nggak kayak di cerita Kyra Arshaka. Semoga sukaaa.