2

518 100 16
                                    

Hanbin kini hanya bisa berbaring di ranjang nya dan menatap langit-langit kamarnya dengan sorot mata sendu, kedua manik indahnya bahkan mulai berkaca-kaca.

Hanbin mengingat setiap perkataan yang Zhang Hao lontarkan, mungkin selama ini ia terlihat tidak memikirkannya sama sekali dan tetap berusaha terlihat ceria, tapi saat ia sendirian dan merasa kesepian seperti sekarang, Hanbin benar-benar merasa sesak dan sangat rapuh.

Nyatanya Sung Hanbin tak sekuat seperti yang orang-orang pikirkan.

Ia juga punya sisi terlemah nya tersendiri, bahkan saat merasa sudah berada di titik terendah pun ia selalu memilih menyimpan semuanya sendiri agar tak menyusahkan serta merepotkan orang-orang di sekitarnya.

"Aku kapan ya ketemu tuhan? Kayaknya udah gak ada lagi yang bisa di harapkan dan di perjuangkan di dunia ini." Hanbin tersenyum parau berbarengan dengan air mata yang mulai jatuh tak tertahankan lagi.

Hanbin ingin hidup bahagia, sekali saja, tapi rasanya tak ada satupun harapan yang bisa ia wujudkan, bahkan mungkin sampai ia menutup mata nantinya.

"Aku rindu ayah sama bunda, aku pengin Kak Hao kembali kayak dulu, hiks, tapi hiks semuanya gak bisa."

Hanbin tak bisa menahan tangisan pilunya, sekarang, ah tidak, bahkan setiap hari ia selalu sendirian, mungkin jika dilihat dari materi Hanbin memang tak kekurangan apapun, tapi apa gunanya semua itu, jika ia berakhir tak menerima kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya, bahkan sekarang ia juga hidup bagaikan benalu untuk keluarga Zhang dan ia tak mau semakin menyusahkan dan berpikir, jika ia seharusnya memang tak pernah terlahir ke dunia.

Drrrt

Drrrt

Hanbin menghapus jejak air matanya dengan terburu, ia kemudian menyambar handphonenya yang ia letakkan di atas meja nakas samping tempat tidur.

Ternyata ada yang menelepon.

Ia langsung menggeser tombol berwarna hijau dan mencoba untuk tak terdengar habis menangis saat menjawab telepon dari Ibu Zhang Hao.

"Halo Mama~" Hanbin menyapa dengan suara riang seakan tak ada beban apapun, ia memang sepintar itu menyembunyikan rasa sakitnya.

"Astaga sayang, Mama khawatir, nak. Kamu baik-baik aja kan?" Minghao terdengar begitu khawatir saat Hanbin baru mengangkat telepon nya.

"Aku baik kok, kenapa mama bisa khawatir?"

"Mama dari tadi telepon kamu gak kamu angkat-angkat, kamu beneran gapapa kan sayang? Kamu gak kambuh kan, nak? Besok kita ke rumah sakit ya, biar mama temenin kamu periksa."

Hanbin terlihat sedih, tapi Minghao tak boleh tahu tentang hal ini.

Hanbin akhirnya terkekeh kecil dan mulai berusaha untuk terdengar sangat baik-baik saja. "Maaf kalo aku bikin mama khawatir, tadi aku ketiduran." Hanbin menggigit bibir bawahnya, ia merasa bersalah karena membohongi ibu dari kakak kesayangannya.

Di sebrang sana terdengar helaan napas lega. Namun, tetap saja Minghao masih khawatir pada Hanbin yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.

"Kamu nginep disini aja malam ini, mama gak mau kamu kenapa-kenapa kalau tinggal sendirian di rumah."

Mungkin sebelum-sebelumnya Hanbin akan dengan senang hati menerima tawaran Minghao, namun sekarang tidak lagi, atau mungkin Hanbin akan mencoba sedikit menjauh secara perlahan.

"Aku gapapa, mama gak perlu terlalu khawatir ya, udah mama mending istirahat udah malem juga."

Minghao menghela napas di sebrang sana. "Yaudah, tapi kalau ada apa-apa hubungi mama, atau ke Zhang Hao juga gapapa, mama khawatir kalau kamu terlalu lama tinggal sendirian tanpa orang tua kamu di rumah."

LAST HOPE (HAOBIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang