00.00

4.1K 275 39
                                    

Segalanya tentang hari itu masih terekam jelas di benak Red. Bagaimana binar kehidupan perlahan meninggalkan mata milik kedua orangtuanya. Red tidak akan pernah lupa, sebab bayang-bayang itu yang menjaganya tetap hidup hingga sekarang.

"Ada pergerakan dari Kaivan Narendra. Lo mau apa?"

Mengembuskan asap dari mulutnya untuk yang terakhir kali, Red memutar kursinya ke arah Eight—salah satu teman yang paling ia percaya. "We're gonna kill him tonight."

Ia sudah menunggu cukup lama. Sebentar lagi. Menenggak alkohol dalam gelas hingga tandas, Red melenggang santai memimpin jalan. Seperti yang sudah-sudah, Red hanya mengenakan jaket bertudung hitam yang menyembunyikan sebagian wajahnya.

Sedan itu membawa Red beserta Eight dan kelima anak buahnya menembus jalanan kota yang sedikit sepi mengingat jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

"Bos, bagaimana dengan istri dan anak Kaivan?"

"Bunuh," jawab Red cepat tanpa keraguan. "Jangan sisakan siapa pun di rumah itu, bahkan hewan peliharaannya."

Perintah yang keluar dari mulut Red adalah kemutlakan. Tidak ada yang berani mempertanyakan, apalagi membantah. Ingat ada siapa di belakang pria itu. Harlem Antannas, sosok paling berpengaruh dalam dunia militer Indonesia. Red tidak bisa disamakan dengan anjing, sebab nyatanya Harlem memperlakukan pria berumur dua puluh tiga itu seperti keluarga.

Begitu tiba di rumah bergaya minimalis pada pinggir kota itu, Red hanya menunggu dalam diam di dalam mobil sembari memainkan pemantik, sementara anak buahnya bergerak melumpuhkan para penjaga yang bertugas. Melihat betapa ketatnya pengawasan di sini, pria tua bangka itu pasti sudah memiliki firasat akan ajal yang ada di depan mata.

Suara ketukan pada kaca jendela di sampingnya menandakan bahwa akses masuk sudah bersih dari kutu pengganggu. Red berdecak. Secepat ini? Padahal ia mengharapkan ladang darah yang lebih pekat. Membuka pintu, suara ketukan sepatu Red terdengar konstan bak alunan kematian. Senandung ringan keluar dari mulutnya, sementara jarinya masih tidak berhenti memainkan pemantik.

Red sontak melempar tawa ke udara saat menemukan pemandangan di dalam sana. Kaivan Narendra sudah menunggu rupanya—duduk manis pada kursi di ujung meja makan panjang. "Menunggu ajal Anda dengan tenang, eh?"

Rahang Kaivan mengeras, "Seharusnya kamu juga mati malam itu. Such a nuisance." Lalu pria enam puluh tahun itu menenggak anggur dari gelas berleher panjang.

Red berjalan perlahan mengitari meja makan dengan ujung jari hinggap di satu per satu punggung kursi. Ia memberi kode agar anak buahnya menggeledah rumah ini, mencari penghuni lainnya. "Tenang. Aku tidak akan membunuhmu secepat itu. Let's play a game, shall we?"

"A little bit too late for that." Kaivan menarik kedua sudut bibirnya. "See you in hell."

Mata Red melebar saat sadar apa yang sedang terjadi. Ia segera menerjang ke arah Kaivan, menahan tubuh pria itu yang ambruk ke bawah. Racun. Red mencoba membawa Kaivan kembali dengan melakukan CPR, tapi sepertinya malaikat maut tidak ada di pihaknya saat ini.

"Fuck, fuck, fuck!" umpatnya dengan wajah merah padam menahan amarah. Ia tidak menunggu selama ini dengan penuh kesabaran hanya untuk melihat Kaivan mati dengan cara mudah!

"Bos, nggak ada siapa pun di rumah ini." Satu per satu anak buahnya kembali ke ruang makan, menjadi saksi akan kefrustasian Red. "Sepertinya bajingan itu telah lebih dulu menyelundupkan istri dan anaknya ke tempat aman."

Red menatap mayat di dekatnya dengan jijik, berpikir sejenak. Ia menggelengkan kepala. "Ada yang aneh. Rumah ini terlalu rapi untuk ukuran orang yang terburu-buru melarikan diri." Lalu pria itu berdiri, mengedarkan pandang ke sekeliling. "There must be a hidden spot. Kita nggak akan keluar dari sini sebelum kalian bawa setidaknya satu nyawa."

Sinners on EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang