"What happened?" River jarang sekali melihat raut khawatir atau panik di wajah kakeknya. Harlem Antannas akan selalu terlihat tenang sekalipun dunia di luar sedang gonjang-ganjing akibat badai. Kali terakhir ia melihat sisi manusiawi sang kakek adalah saat kematian kedua orangtua River sepuluh tahun lalu. Jadi melihat Harlem kembali menunjukkan ekspresi itu mau tau mau membuat River penasaran.
"Red. Dia baru saja dibawa ke rumah sakit."
Alis River menukik sebelah, "What's the reason?" River sangat tahu siapa Ryder Urvilla dan apa yang mampu pria itu lakukan. Gagal dalam misi, apalagi terluka karenanya, sama sekali bukan bagian dari kamus sosok kepercayaan Harlem satu itu.
"Kecelakaan mobil. Aku akan ke sana."
"Aku ikut." Sejujurnya, River sendiri tidak mengerti mengapa dua kata itu meluncur bebas dari bibirnya. "Biarin Pak Yuda istirahat. Aku yang akan nyetir."
Harlem mengangguk setuju, segera memimpin jalan untuk menuju garasi. Langkahnya tergesa, menunjukkan kekhawatiran tulus yang entah mengapa membuat River tersenyum geli. Tidak, tentu saja River tidak merasa cemburu. Semua juga tahu kalau ia merupakan cucu kesayangan sang kakek dan River yakin Harlem sadar betul akan hal itu. Yang tidak pria tua itu sadari adalah rasa pedulinya terhadap Red.
"Hah, aku hanya takut pion terbaikku menghilang!" Harlem akan memberi sangkalan yang sama di setiap kesempatan yang ada.
Setelah menyerahkan kunci mobil kepada petugas valet, keduanya berjalan beriringan melewati koridor rumah sakit. Tentu saja hanya butuh satu panggilan dari Harlem Antannas untuk Red segera dipindahkan ke ruang inap utama, juga mendapat perawatan intensif dari dokter terbaik di sini.
Kehadiran satu gadis di sisi kasur River jelas bukan sesuatu yang keduanya ekspektasi. Harlem berdeham kencang sebagai pertanda kehadiran mereka, membuat gadis itu buru-buru menoleh dan berdiri kikuk.
"Halo," sapa gadis itu gugup.
"You must be that girl." Ketukan tongkat Harlem terdengar memenuhi sepenjuru ruangan. "Snow Dyvette, no?"
Snow Dyvette? Kening River mengerut. Nama yang tidak asing. Ia masih mencoba menerka siapa sebenarnya gadis itu saat suara erangan Red terdengar. Pas sekali.
"Aku .. aku akan biarin kalian bicara." Snow Dyvette menunduk sopan sebelum bergerak meninggalkan ruangan.
"Have a talk with him. Aku akan menunggu di luar." River tahu Harlem selalu secara sengaja mengeksklusikannya dalam segala misi yang Red emban, jadi ia tidak begitu peduli. River dan Red memang ditakdirkan seperti itu—seperti dua sisi koin yang sampai kapan pun tidak akan pernah saling berhadapan.
Harlem menahan lengan cucunya, "Do me a favour."
"What is it?"
"That girl. Aku mau kamu mengajaknya berkenalan secara pribadi."
Sekalipun terdengar absurd, River tidak melempar tanya lebih jauh. Harlem Antannas adalah pria paling logis yang pernah dikenalnya, jadi pasti ia memiliki alasan tersendiri. River mengangguk mengerti sebelum ikut melangkah keluar, mencari jejak Snow. Tidak sulit. Snow Dyvette sedang duduk di kursi tunggu, bermain dengan jemarinya sendiri.
"Boleh aku duduk di sini?" Pertanyaan basa-basi. Bahkan sebelum Snow memberi balas, River sudah mengambil tempat di sebelah gadis itu. "Such a long night, eh?" Ia melirik rembesan darah pada pakaian teman bicaranya. "Luka kamu udah diobati?"
Snow berkedip beberapa kali, lantas membuang napas pelan. "Aku selalu tahu kalau Red punya backingan yang gila, tapi aku nggak nyangka kalau nama Antannas akan menjadi jawabannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners on Earth
RomanceRed hanya memiliki satu keinginan sederhana setelah semua dendamnya terbalaskan; kematian. Ia sudah tahu akan dengan cara apa ia mengambil nyawanya sendiri. Kuasa, uang, serta status yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak menggoda Red untuk ber...