15.00

1.1K 163 21
                                    

"Apa fakta kalau aku adalah anak kandung Kaivan Narendra nggak membuat kamu marah?" Di antara keremangan ruangan, ada dua sejoli yang tengah berbaring bersisian di atas kasur berukuran besar sembari saling merengkuh. Jemari Snow menyusuri helaian rambut Red, membuat aroma shampo menyegarkan dari sana semakin menyerbak keluar.

Hela napas Red membentur kulit leher Snow. "Aku nggak tahu sejak kapan kamu bukan lagi putri Kaivan Narendra di mataku, Snow. You're just .. you." Red merangkak naik dari posisinya, menghujam pipi Snow dengan kecupan. "Shit. I think I like you."

Dengan jarak sedekat ini, bagaimana bisa Snow mengontrol detak jantungnya yang menggila? Ia hanya berharap kalau Red tidak mendengarnya. "You think? Jadi udah pasti atau belum?"

"Apa bedanya? If it's not mutual—"

Snow memejamkan mata saat memajukan wajah, mengecup bibir Red cepat. Ia masih belum mau membuka matanya bahkan setelah kembali menjatuhkan kepala ke atas bantal. "Bukan cuma kamu yang merasa fucked up saat ini. Aku juga. What should we do? I'm scared. Anzel baru aja pergi dan aku nggak bisa lakuin apa pun tentang itu, sementara kamu di sini buat jantung aku berdebar nggak karuan."

"Don't expect me to become better. This is who I am." Red kembali menghilangkan jarak antara mereka, kali ini memberikan bukan hanya kecupan, tapi lumatan dalam yang tidak terkesan terburu-buru. "Mendengar kamu menyebut nama laki-laki lain buat aku marah. Apa ini udah cukup sebagai bukti kalau perasaanku valid?"

Snow mengerjap beberapa kali, secara tak sadar melingkarkan lengannya pada tengkuk Red. "Bersama kamu dalam situasi seperti ini membuat aku merasa seperti penjahat. You're a sinner, Red. Menaruh perasaan ke orang seperti kamu sama aja kayak menanam bom bunuh diri."

"I know." Red menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Snow, mengundang desahan samar perempuan tersebut. "But are you able you to resist this?" Lalu ia memberi gigitan pada kulit di depannya, "To resist me?"

Kesepuluh jari Snow terjalin erat. Ia menarik Red semakin dekat. "Screw you, Ryder."

"Tell me to stop." Tangan Red sudah bergeliya ke sudut-sudut lain. "Sekarang atau nggak sama sekali." Lelaki itu berbisik pelan. Helaan napasnya terdengar semakin berat, seolah tengah menahan sesuatu paling menyusahkan.

Snow pasti sudah setengah gila saat menjawab, "Don't stop."

*

"Enough, both of you!" Kalau bukan karena seruan lantang Joshua, mungkin Red akan terus secara kalap menghantamkan tinjunya pada wajah Eight. "Kalian mau saling bunuh karena ini?!"

Napas Red terengah hebat saat ia menarik diri mundur. Keringat dan darah mengaliri pelipisnya, mengantarkan rasa pedih yang sudah sejak lama menjadi hal biasa bagi Red. "Kasih gue alasan baik buat nggak keluarin lo dari tim sekarang juga, Eight." Ia berujar dingin dengan tatapan datar.

"Red!" Joshua menyerukan protes. "Kita udah sering berantem kayak gini. Tapi keluarin Eight dari tim? Lo gila!"

"He sabotaged my mission!" seru Red, masih sarat akan amarah dan kekecewaan. "He killed that kid," lanjutnya dengan suara lebih stabil. "Dia juga menyerang Anzel tanpa sepengetahuan gue."

"Untuk menyelamatkan lo," sambar Eight tenang sekalipun saat ini seluruh tubuhnya dialiri rasa sakit luar biasa. Sepertinya ada yang patah. "Anak itu akan tumbuh suatu saat dan siapa yang tahu kalau dia mengikuti jejak lo, hm? Lo tahu lebih dari siapa pun gimana rasanya menjalani hidup berdasarkan dendam."

Sinners on EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang