05.00

1.3K 170 18
                                    

Jari-jari Red bergerak bergantian mengetuki permukaan meja, menciptakan bunyi konstan yang berhasil membuat Eight berdecak kesal.

"Jadi? Udah jelas, kan? Orang-orang tadi sore, mereka bekerja sama dengan Kamila Narendra." Mata sipit Eight mengawasi pigura-pigura yang terpajang di lemari kaca. "Tujuannya jelas. Dia mengincar perusahaan. Kalau Snow Dyvette mati, maka kepemilikan sahamnya akan secara otomatis diambil alih oleh Kamila."

"Pasangan ular."

"Let's talk about another important thing. Bagaimana lo akan mengurus masalah dengan keluarga Tedjakusuma?"

"Lakukan seperti biasa. Do you really need to ask?"

Eight menatap Red dari pantulan kaca di depannya, tersenyum tipis. "Sepertinya lo benar-benar sibuk, ya, sampai nggak update soal berita terbaru."

"Apa maksud lo?"

"Taraksa Loka udah kembali. Lo yakin mau mengurus masalah kali ini dengan cara yang sama?"

Punggung Red menegak dan sekalipun tidak menunjukkannya secara gamblang, Eight tahu betul isi kepala Red saat ini. "Sejak kapan?"

"Sore kemarin. Harva memanggilnya secara langsung. Lo pasti udah dengar isu soal adik Harva yang akan menikah dengan konglomerat Singapur, kan? Pasti Harva akan lebih tenang kalau Raksa yang secara khusus mengawasi adiknya sampai acara pernikahan benar-benar berlangsung." Eight membalik tubuh, mengawasi ekspresi temannya lamat-lamat. "Kita hanya perlu mengirim gertakan. Gue bisa melakukannya kalau lo memberi perintah."

Di kelompok mereka, Red adalah kepalanya—otak dari segala rencana sekaligus eksekutor nomor satu. Harlem Antannas selalu memercayakan nyawa pion-pion penting untuk lenyap di tangannya. Kalau River memiliki segala wewenang untuk mengurus bisnis yang berada di permukaan, maka segala urusan kotor seperti melobi pejabat atau memaksakan negosiasi berada sepenuhnya di tangan Red. Persis seperti bayangan.

Lain cerita dengan Joshua dan Eight yang lebih cocok disebut sebagai intel. Tugas mereka adalah mencari informasi akurat sekaligus menjadi pembicara tidak langsung dari Harlem. Jadi perkara memberi gertakan sebetulnya memang lebih cocok dilakukan oleh Eight.

Terkadang Eight bertanya-tanya, pernahkah Red merasa marah? Ia tumbuh bersisian dengan River Antannas, tapi Harlem membesarkan mereka dengan sekat yang sangat jelas. Sementara Red harus mempertaruhkan nyawa setiap saat, River akan selalu hidup di dalam dinding kenyamanan. Namun Red adalah Red. Pria itu tidak akan sudi membagi kisi-kisi perihal perasaannya sendiri.

"I'll do it myself." Red berujar datar. "Nggak ada yang salah dengan menyapa teman lama."

"You can't kill him. Om Harlem nggak akan senang."

"I won't." Helaan napas Red terdengar berat. "Satu lagi. Bantu gue cari tempat tinggal baru. I can't go back to that place."

"Gue bukan agen properti, asal lo tahu." Mendapat tatapan datar dari Red cukup membuat Eight terkekeh pelan, "Iya, iya. Secepatnya."

"Jangan yang norak."

*

Snow memulai paginya dengan cara paling menyebalkan. Hal pertama yang Red lakukan begitu membuka pintu adalah memancing amarahnya.

"Lepas kepemilikan saham kamu."

"Siapa yang bilang kalau dia nggak mengincar uang papaku?" balas Snow sinis. "Munafik."

"Bukan untuk aku," dengus Red. "Fine. I won't sugarcoat anything for you. Listen carefully, Snow Dyvette. Kamila Narendra adalah otak dari penyerangan kemarin. Ya, seperti yang aku bilang, ada yang melacak tempatku tinggal lewat sinyal dari ponsel kamu. Kalau kamu mau masalah hidupmu berkurang sedikit, you gotta give up on those stocks."

Sinners on EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang