"Are you an idiot? Jelas kita nggak bisa mengeksekusinya begitu aja. Arviando Dewangga berbeda dengan target-target kita sebelumnya. Keluarganya udah berkecimpung di dunia pemerintahan selama sepuluh tahun lebih."
"Terus apa rencana lo? Kalau kita nggak segera mengambil tindakan, dia akan semakin menjadi. Manusia idealis seperti dia yang membuat pekerjaan kita sulit."
Red mendengar perdebatan kedua temannya dalam diam sebelum melempar titah, "Search for his weaknesses. Orang seperti dia pasti memiliki banyak hal untuk dilindungi."
Seperti mengamini kalimat Red, serangan tidak terduga terjadi. Asap memenuhi indra penglihatan mereka secara cepat dan mendadak, begitu juga rentetan suara pecahan kaca.
"Jangan dihirup! Racun!" seru Red sembari bergerak lincah menuju laci rahasia penyimpan senjata.
Lima, tujuh—tidak, setidaknya sepuluh orang—menyerbu mereka secara bersamaan. Red tahu ia tidak bisa meluncurkan peluru secara sembarangan atau mungkin salah satu dari temannya bisa terluka, jadi ia mengandalkan kemampuan tempur jarak dekat.
"Red, ada yang naik ke atas!" Seruan Joshua mau tak mau membuat perhatian Red sedikit teralihkan. Rahangnya berhasil menjadi sasaran empuk, tapi secepat itu juga Red meluncurkan balasan. Red melumpuhkan empat orang bersenjata kurang dari tiga menit, segera bergerak menuju tangga. "Watch out!" Peringatan kedua Joshua datangnya terlalu telat. Peluru itu berhasil bersarang pada lengan Red. "Go! Gue yang akan urus!"
Merintih samar, Red melanjutkan langkahnya meniti tangga hingga ke undakan paling atas, menerobos pintu kamar Snow tanpa aba-aba. Red tidak berkedip saat melubangi kepala lelaki kurang ajar itu, menarik tubuhnya menjauh dari Snow yang masih memejamkan mata dengan raut dipenuhi horor.
"You killed him," ujar Snow terbata. Wajahnya dihiasi darah lelaki tadi.
"You're welcome," balas Red datar sebelum menarik Snow berdiri. "Let's go. Kita harus keluar dari sini. Kalau mau nangis, do it later."
"Bajingan nggak punya hati," ujar Snow dengan suara bergetar. "Aku bahkan nggak takut saat kamu menodongkan pistol ke kepalaku, tapi kamu nggak akan ngerti rasanya nyaris dilecehin secara seksual!"
"So what do you want me to do? That man is dead."
"Kalau situasinya normal, pasti Papa akan peluk aku sambil bilang," Snow membenamkan diri pada dada bidang Red, "it's okay. You're gonna be okay."
"Aku bukan papamu," tukas Red sinis, tapi tidak mendorong Snow menjauh.
"See?! I know there's something going on between the two of them! Kita hampir mati di bawah dan mereka malah asyik bermesraan?!" Rutukan Eight membuat Snow segera menarik diri, mengusap ingus di bawah hidungnya.
Joshua memutar bola mata kesal, "Ayo. Tempat ini udah nggak aman. Kalau kalian masih mau bermesra ria, tolong dipause dulu."
*
"Be honest with me. Penyerangan itu terjadi bukan tanpa sebab, Snow. Jangan pikir aku bodoh. Mereka berhasil melacak lokasi kita karena sinyal yang terpancar dari rumahku."
Snow mengalihkan mata ke arah lain, tidak suka melihat Red memberinya sorot tajam menelanjangi seperti itu. "Fine. Aku memang menghubungi supirku diam-diam. Tapi—"
"Snow Dyvette, kamu mencoba membodohiku?"
"Well, kalau kamu di posisiku, aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama!" erang Snow frustasi. "Aku khawatir dengan keadaan Mama. Apa salah kalau aku mencoba mencari tahu situasi di luar sana? You took my phone away seolah-olah aku hidup di dalam penjara!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners on Earth
RomanceRed hanya memiliki satu keinginan sederhana setelah semua dendamnya terbalaskan; kematian. Ia sudah tahu akan dengan cara apa ia mengambil nyawanya sendiri. Kuasa, uang, serta status yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak menggoda Red untuk ber...