Sekiranya Red sudah bisa menebak tujuan dari skema kotor ini. Taktik kotor politik. Ia tahu putra bungsu salah satu kandidat presiden untuk pemilu berikutnya juga turut menjadi korban penculikan. Kebetulan? Red meragukannya. Panggilan telepon baru saja diterima oleh masing-masing pihak yang terlibat. Mereka meminta dua puluh miliar untuk masing-masing kepala. Total ada tiga belas kepala di sana. Bocorkan ke media, maka akan ada pertumpahan darah. Saat ini publik hanya diberitahu sebatas kapal pesiar yang hilang dari radar. Bahkan Tim SAR juga dilibatkan demi pengalihan yang sempurna—agar mereka percaya bahwa situasi ini tidak lebih dari kecelakaan tak disengaja.
Melakukan pelacakan bukan hal yang mudah, terutama ketika ponsel River sepenuhnya mati. Setelah berhasil meretas berbagai kamera pengawas serta alat navigasi dari berbagai titik, ada kemajuan yang mulai terlihat. Kapal pesiar yang terdampar itu berhasil mereka temukan dalam waktu kurang dari empat jam. Hanya tersisa beberapa awak kapal tanpa nyawa.
"Ada dua orang yang menghilang," kata Moreno dengan beberapa kartu identitas di tangan. "Adikasa Setiono dan Kalingga Tama."
Jari-jari Gion menari cepat di atas keyboard laptop. "Kelihatannya, mereka adalah sepupu."
"That's it. Kita mulai pencarian dari sana." Eight berujar cepat. "Hubungi orang-orang kita di Jakarta. Cari keluarga atau kerabat terdekat mereka. Ancam, siksa, terserah. Gotta make those assholes regret their stupid decision."
Sementara di sisi lain, Red tengah berdiri di tepi kapal dengan tangan sibuk memainkan pemantik kesayangannya. "Something's off .." Alisnya bergerak naik sebelum ia membalik tubuh, menatap Joshua dan Eight bergantian, "Anak itu, Mahija Labdawara, apa dia nggak datang dengan penjagaan ketat? Bagaimanapun, ayahnya merupakan calon presiden negara ini."
"Well, siapa yang nyangka pembajakan macam sinetron ini bakal terjadi? Mungkin anak itu berpikir membawa pengawal ayahnya ke suatu acara ulang tahun anak konglomerat terlalu berlebihan."
Red menggeleng, tetap merasa ada yang aneh, "Kalau dugaan gue nggak salah .. seharusnya sebentar lagi kita akan kedatangan tamu spesial." Bersamaan dengan itu, suara tembakan beruntun terdengar. Red sontak berlari ke dalam sembari membungkukkan badan, mengeluarkan pistol dari sakunya. "Keep your eyes open!"
"You jinxed it!" seru Eight kesal.
"Namanya menganalisa, bodoh," balas Red sewot. "Mereka anak buahnya Hanggar Labdawara. Hati-hati."
"Wait, what?!"
"Jangan banyak tanya. Jangan mati."
*
Maikha menjerit saat perkelahian itu terjadi tepat di depan matanya. Tidak ada yang berani membantu. Semua anak-anak manja itu hanya beringsut menjauh dengan wajah menunduk dalam ke bawah. River jelas adalah petarung yang handal—sangat handal, malahan. Kalau bukan merupakan cucu tunggal Harlem Antannas, Maikha akan percaya kalau lelaki itu bilang dirinya merupakan atlet bela diri.
"Aku?" Maikha berujar panik saat River memberinya kode lewat mata.
"Hurry up!"
Maikha memaksa dirinya berdiri dan berlari mengambil kunci dari tangan River. Ia menatap kesal sosok-sosok pasrah lainnya. "Lo pada mau mati di sini?! Bangun kalau masih mau hidup!"
"Buat apa repot? Papiku pasti bakal kasih dua puluh miliar itu. It's nothing compared to his precious daughter's life." Giovanni Karthajaya berujar demikian. "Aku nggak mau mempertaruhkan nyawaku sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners on Earth
RomanceRed hanya memiliki satu keinginan sederhana setelah semua dendamnya terbalaskan; kematian. Ia sudah tahu akan dengan cara apa ia mengambil nyawanya sendiri. Kuasa, uang, serta status yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak menggoda Red untuk ber...