02.00

1.6K 211 10
                                    

Snow menatap sekelilingnya dengan pandangan hampa. Nyaris semua tamu yang hadir tidak ia kenali. Seolah bisa membaca pikiran terdalam Snow, rengkuhan Red pada pinggangnya tidak melonggar sedikit pun sejak awal.

"Membuat keributan sama aja seperti memberiku izin untuk membunuh mamamu," bisik Red tepat di telinganya. "Jangan sedikit pun berpikir kalau kamu bisa kabur."

"Snow!" Snow mengangkat wajah, nyaris menangis saat melihat kemunculan Tamara, sahabatnya. "Lo ke mana aja, astaga?! Right after I heard the news about your dad, I immediately rushed over to your house, tapi nggak ada siapa pun di sana kecuali polisi." Tamara membawa Snow ke dalam pelukan erat. "Turut berduka, Snow. Yang kuat, ya?"

Snow menggigit bibir kuat, menahan diri mati-matian untuk tidak meraung dan menjerit frustasi. "Thank you." Hanya itu yang bisa ia katakan sebagai balasan. "Gue udah nggak tinggal di sana, Tam."

Tamara beralih kepada Red dengan sorot bertanya, "Siapa ..?"

"Dia—"

"Her fiance." Red memotong kata-kata Snow cepat. "She's living with me right now."

"For real?" Kedua mata Tamara membulat. "Sejak kapan lo punya tunangan? No, no, lebih tepatnya, how about your mom?"

"Mama .. Mama harus mengurus sesuatu di luar kota. Mendesak, nggak bisa ditinggal." Snow tahu alasan yang ia buat sama sekali tidak masuk akal, tapi saat ini otaknya buntu. Terlalu banyak hal terjadi dan satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah melarikan diri.

Tamara hanya manggut-manggut sekalipun masih terlihat sedikit skeptis. "Kalau gitu, gue masuk dulu, ya?" Ia mengusap bahu Snow pelan sebelum beranjak menjauh.

Snow menghela napas berat, lantas kembali menyapa tamu berikutnya yang hadir untuk meladeni basa-basi mereka. Dua jam. Tiga jam. Waktu terus berlalu hingga acara melayat resmi usai.

"Let's go." Red sedikit mendorong pinggang Snow untuk berjalan menuju lobi rumah duka. "Setelah ini, aku anggap kita udah sepakat untuk mengikuti aturanku, kan?"

"Sepakat dan terpaksa memiliki arti yang berbeda," balas Snow pelan, terlalu lelah untuk berdebat.

Red tidak menjawab, hanya menuntunnya memasuki mobil yang telah terparkir tepat di depan pintu lobi. Selama perjalanan menuju rumah pria itu, Snow tidak berhenti merenung. Kalau saja hari itu ia tidak nekat membuat penjaga pribadi yang ditempatkan Kaivan untuknya pingsan lantas bersembunyi di dalam ruangan rahasia hanya untuk memastikan sang ayah baik-baik saja, apa kondisinya akan menajdi lebih baik?

Ia merindukan mamanya. Ia juga ingin berduka secara layak atas kematian papanya. Namun kini apa? Snow harus menerima fakta kalau teman masa kecil yang selalu ada di sudut pikiran terdalamnya telah berubah menjadi monster penuh dendam yang siap melakukan segala cara untuk menghancurkan dirinya?

"Bos, ada yang ngikutin kira." Hamka melirik situasi di belakang lewat kaca spion tengah. "What should we do?"

Snow ikut menoleh ke belakang. Benar kata Hamka. Ada tiga motor dengan masing-masing dua orang di atasnya tengah mengikuti mobil mereka. Ia melirik ke arah Red yang terlihat sangat santai.

"Keep going," kata Red. "Lebih cepat."

Hamka mengikuti apa kata bosnya, terus berjalan membelah jalanan yang tidak terlalu padat. Snow menahan napas saat Hamka menambah kecepatan mobil, tanpa sadar mencengkeram ujung bangku. Namun seolah hari Snow belum cukup buruk, hal yang ditakutinya benar-benar terjadi. Motor-motor itu berhasil menghalangi akses jalan, sehingga Hamka terpaksa menginjak rem secara mendadak.

Sinners on EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang