Kedatangan tidak terduga River sempat membuat Snow bertanya-tanya, terutama setelah mendapati wajah muram lelaki itu. Gestur samar dari Red langsung dimengerti Snow. Ia menyingkir dari sana, menyisakan ruang untuk keduanya bicara empat mata.
"Opa .. sekarat." River membuka suara dengan getar yang tak terlalu kentara. "Konyol, tapi kamu orang pertama yang muncul di kepalaku saat berita ini kudengar." Red memainkan pemantik di tangan kiri, tidak tahu harus membalas apa. Diamnya Red jelas mengundang spekulasi demi spekulasi dalam benak River, hingga akhirnya lelaki itu memberi tatapan tak percaya. "You knew."
"I'm sorry." Hanya itu yang bisa Red katakan. Perlukah Red tekankan kalau ia tidak pandai berbasa-basi busuk apalagi menghibur orang yang tengah bersedih?
River mengusap wajahnya kasar dengan dua tangan, terkekeh sarkastik. "It's always been that way, no? Dia selalu lebih percaya kamu dibanding aku, bahkan menyangkut hidup dan matinya."
"River, it's not the point. Om Harlem hanya mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu kamu."
"Bullshit," dengus River samar. "Opa hanya menganggap kalau kamu lebih kuat dan nggak punya sisi emosional bodoh sepertiku."
Red menarik napas panjang, beranjak berdiri. "Tunggu sebentar." Ia bertolak menuju pantry, lantas kembali dengan dua gelas berkaki panjang beserta sebotol minuman beralkohol. "Wanna have a drink?"
Senyum tipis muncul di bibir River. "Why not?"
Keduanya hanya menenggak alkohol dalam keheningan pekat, bahkan tidak saling melirik. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Om Harlem memberiku tugas terakhir." Red berujar, mengangkat kepala yang mulai terasa berat. "Setelah itu, dia membolehkanku pergi. Katanya, kamu nggak akan membutuhkanku sama seperti dia membutuhkanku."
"Kamu akan pergi ke mana?"
"Anywhere."
River menatap Red lama sebelum menunduk. "Stay. Aku butuh orang-orang yang bisa kupercaya di sekitarku, setidaknya sampai posisiku di perusahaan stabil."
"Aku bekerja untuk Om Harlem, bukan kamu."
"Aku tahu. Aku meminta ini bukan sebagai atasan, tapi sebagai teman."
"We're anything but friends, Antannas."
"Kenapa? Karena kamu membenciku?"
Mendengarnya, Red sontak dibuat terkekeh kecil. "Kenapa kamu dan kakek itu sama aja? Kalian beranggapan kalau aku membenci kalian. Hei, kalian pikir aku serendah itu? Untuk apa aku bekerja untuk orang yang kubenci?"
"Nice answer."
"Kenapa? Kamu takut aku akan bunuh kamu setelah kakek tua itu meninggal?" Red memainkan cincin yang tersemat pada telunjuknya.
River menyeringai kecil mendengarnya. "Red, kita tumbuh bersama. Mungkin kita bukan teman, tapi aku tetap mengenal kamu layaknya sisi koin yang saling membelakangi. Nggak ada motif bagus untuk kamu membunuhku. Lagipula, aku yakin kakek tua yang kamu maksud meninggalkan banyak harta untuk kamu nikmati."
"Kamu dan kakek tua itu sangat mirip. Bahkan pemilihan kata kalian hampir sama." Red menggeleng-geleng pelan. "Kalian nggak butuh tes DNA untuk memastikan kalau kamu adalah cucu kandungnya."
Malam itu, untuk kali pertama setelah sepuluh tahun saling menyapa dan beradu tinju di atas ring, Red dan River duduk bersantai menikmati anggur berumur tiga puluh tahun. Tentu saja Red tidak memilih bir murahan untuk ditawarkan kepada cucu Antannas. Bisa-bisa River terkena gangguan pencernaan. Red ogah disalahkan. Untuk sesaat, mereka melupakan identitas satu sama lain. Bukan cucu emas atau mesin pembunuh Harlem Antannas—hanya dua laki-laki berumur dua puluh tiga tahun yang tengah membicarakan hal-hal remeh dan lelucon tidak lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners on Earth
רומנטיקהRed hanya memiliki satu keinginan sederhana setelah semua dendamnya terbalaskan; kematian. Ia sudah tahu akan dengan cara apa ia mengambil nyawanya sendiri. Kuasa, uang, serta status yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak menggoda Red untuk ber...