Hari-hari Snow berjalan dengan cukup normal. Normal yang dimaksud di sini tentu saja meliputi rutinitas barunya di penthouse yang baru Red beli. Yep, akhirnya mereka berdua keluar dari kediaman Joshua setelah menumpang selama nyaris sebulan. Sejujurnya Snow lebih senang dengan suasana sebelumnya dimana ia tidak perlu merasa kesepian, tapi Red jelas tidak akan senang dengan ide menjadi parasit di rumah Joshua Hong lebih lama lagi.
Bagaimana hubungannya dengan Red, kalian bertanya? Ugh, sucks. Red, tentu saja, bukan tipe yang akan dengan senang hati membicarakan perihal perasaannya sendiri. Lelaki itu bahkan jarang terlihat, lebih senang menghabiskan waktu di luar dan baru akan kembali saat subuh. Mungkin memang Snow yang terlalu naif dan banyak berharap. Red sudah terbiasa dengan gemerlap dunia malam, di mana lusinan—mungkin lebih—perempuan akan dengan senang hati melempar diri ke dalam pelukan lelaki itu setiap harinya. Untuk apa Red melirik seorang Snow Dyvette? Satu-dua ciuman tidak akan berarti apa pun untuk Red.
Dan seperti pahlawan di siang hari, ponsel Snow berdering pada waktu yang tepat. Hanya tiga orang yang mengetahui nomor ponselnya dan yang saat ini menelepon Snow jelas bukan salah satu dari mereka.
"Halo?" sapa Snow ragu.
"Snow?"
"River?!" Snow tidak dapat menyembunyikan intonasi antusiasnya. "Kamu dapat nomorku dari mana?"
"Red. Maaf menelepon kamu tiba-tiba."
"No worries!" Snow berseru dengan senyum lebar di bibir. "What's up?"
"You know, this might sound embarrassing, tapi aku nggak punya banyak teman perempuan. Dan saat ini aku lagi terjebak di posisi nggak enak."
Snow terkekeh pelan, "Apa yang bisa kubantu?"
"Bisa aku jemput kamu sekarang? Aku butuh bantuan kamu untuk membeli kado."
"Buat pacar kamu?" Snow tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, sementara kakinya melangkah memasuki kamar dengan melompat-lompat kecil.
"Bukan. Hanya .. seorang teman."
"Oke .." Snow membuka lemarinya, menelaah pakaian yang ia miliki. "I'll be ready in twenty minutes."
"Cool. Nanti kutelepon lagi kalau udah sampai."
Setelahnya, Snow menghabiskan waktu untuk mengganti pakaian dan merias wajah secara sederhana. Ia tersenyum melihat pantulan diri sendiri di cermin, menyemperot parfum secukupnya sebelum berlari keluar kamar. Namun senyum di wajah itu harus luntur saat menemukan kehadiran sesosok perempuan asing yang kini juga tengah menatapnya tak kalah terkejut.
"Snow, ya?"
"Iya. Maaf, tapi kamu siapa? Kok bisa masuk ke sini?" Mengingat reputasi Red, Snow mau tak mau dibuat was-was. Bagaimana jika ada penyerangan lainnya?
"Ah, sorry. Namaku Iriana. Aku temannya Red." Perempuan cantik itu tersenyum tipis. "Red kasih tahu aku pin untuk masuk ke sini. My bad. I should've pressed the bell first. Aku pikir nggak ada siapa-siapa di rumah."
"Oh, begitu .." Snow manggut-manggut sembari menggaruk kening yang tak gatal. "Tapi Red lagi nggak ada di rumah."
"Aku tahu. I called him before. Aku ke sini untuk mengambil sesuatu."
"I see." Snow bergerak kikuk, bingung sendiri. "Mau aku ambilkan minum?"
"Thank you for the offer, tapi aku nggak akan lama di sini." Iriana memiliki senyum yang indah, betul-betul berhasil membuat Snow seketika merasa minder. Tuhan memang tidak pernah adil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners on Earth
RomansRed hanya memiliki satu keinginan sederhana setelah semua dendamnya terbalaskan; kematian. Ia sudah tahu akan dengan cara apa ia mengambil nyawanya sendiri. Kuasa, uang, serta status yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak menggoda Red untuk ber...