playlist : džanum — tera doya
"Pergi dan jangan pernah kembali lagi." Snow melempar amplop berisikan uang kepada wanita setengah telanjang di samping Red. Wanita itu buru-buru memungut amplop tersebut, juga bajunya yang berceceran, sebelum berlari keluar dari penthouse itu.
Snow melirik Red tajam sebelum membantu lelaki itu berdiri. Bau alkohol dan rokok langsung menyengat hidung Snow kuat. Tentu saja, Red menolak mempermudah pekerjaan Snow. Red masih memiliki sorot sayu saat menarik Snow hingga sang perempuan terjatuh ke atas pangkuannya.
"You're drunk. Aku bantu kamu ke kamar." Snow enggan melirik Red, memilih untuk memfokuskan pandang ke karpet berbulu di bawah.
"Snow. My Snow." Red terkekeh saat mengatakannya. Tangan lelaki itu bergerak untuk memainkan ujung rambut Snow. "Aku pikir tadinya semua akan segera berakhir, tapi aku salah."
"What happened, Red? Kamu bahkan nggak mau bicara sama aku." Snow berujar dengan keputusasaan yang kentara. Ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat sang lawan bicara sekalipun kini air mata serempak memenuhi pelupuknya. "Talk to me. Please."
Sorot Red melunak, tidak sehampa sebelumnya. Snow bisa melihat pantulannya sendiri di sana. Red juga dipenuhi berbagai macam emosi saat ini. "I'm going to abandon everything, including you."
Snow meneguk saliva susah payah, merasakan gumpalan pahit di tenggorokannya. "Aku nggak mengerti."
"Kamu nggak harus mengerti. Aku hanya mau kamu membenciku. Seperti dulu. Kita kembali ke titik nol."
"Jadi itu alasan kamu melakukan semua ini? Supaya aku membenci kamu?" Snow melempar tawa kecil sampai-sampai air matanya ikut jatuh ke bawah, membentuk sungai kecil. "Red, perasaan aku nggak sedangkal itu."
Tangan Red berpindah pada pipi Snow, menghapus jejak air mata di sana. "I'm sorry. I can't do this. Too much hatred within me. Kamu benar sejak awal. Monster sepertiku nggak akan merasa cukup hanya dengan hal remeh seperti cinta." Lelaki itu, yang baru saja mengakui dirinya sebagai monster, mengecup setiap titik di wajah Snow dengan begitu lembut—di pipinya, di rahangnya, di ujung hidungnya, dan terakhir, tentu saja di bibirnya. "Sebelum aku pergi, aku mau kamu hanya ingat semua hal-hal buruk tentangku."
"Kamu mau ke mana?" Takut langsung memenuhi mimik wajah Snow. "Red, kamu mau ninggalin aku?"
"I'm gonna kill someone."
"I don't care."
"But this time, I might get killed as well."
Snow terdiam beberapa saat sebelum memaksakan senyum, "Kamu bisa bertahan hidup sejauh ini karena kamu hebat, Red. Kamu nggak akan semudah itu dibunuh, kan?"
"Harlem Antannas."
"Hm?"
"Dia yang akan aku bunuh, Snow. My last target."
Tubuh Snow menegang. Ia mencoba mencerna kata-kata Red di tengah kabut yang memenuhi otaknya. "Kenapa?" Red tidak memberi balasan, tapi Snow bisa melihatnya di kedua mata lelaki itu. Ada luka menganga di sana. Ada kekecewaan besar akibat pengkhianatan. "Kalau aku memohon, apa kamu bersedia mengubah pikiran kamu?" Walaupun Snow tahu jawabannya, ia tetap tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Mata Red tertancap lurus ke depan. He has made up his mind. Snow tahu itu.
"What about me?" Suara Snow melirih. Pertahanannya sejak awal pecah. Tangisannya semakin deras. "Gimana dengan aku, Red?" Snow mengalungkan lengan pada tengkuk Red, memeluknya erat. "Kalau kamu mati, aku harus apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners on Earth
RomanceRed hanya memiliki satu keinginan sederhana setelah semua dendamnya terbalaskan; kematian. Ia sudah tahu akan dengan cara apa ia mengambil nyawanya sendiri. Kuasa, uang, serta status yang dimilikinya sekarang sama sekali tidak menggoda Red untuk ber...